PVMBG dalam penjelasannya menyatakan Gunung Api Anak Krakatau, yang terletak di Selat Sunda, adalah gunung api strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera setelah erupsi paroksimal pada 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau. Aktivitas erupsi setelah pembentukan dimulai sejak 1927, pada saat tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak 2013.
"Sejak saat itu dan hingga kini, G. Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar). Saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018)," demikian pernyataan tertulis PVMBG, Minggu (23/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi ekplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava. Pada 2016, letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan letusan yang terjadi pada 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian.
Pada 2018, kembali meletus sejak 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian. Precursor letusan pada 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan peningkatan jumlah gempa hembusan dan low frequency pada 18-19 Juni 2018. Jumlah gempa hembusan terus meningkat dan akhirnya pada 29 Juni 2018 G. Anak Krakatau meletus. Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh G. Anak Krakatau atau kurang dari 1 kilometer dari kawah, tetapi sejak 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai sehingga radius bahaya G. Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.
Tsunami ini menerjang pada Sabtu (22/12) malam. Hingga pukul 07.00, Minggu (23/12), data sementara jumlah korban dari bencana tsunami di Selat Sunda tercatat 43 orang meninggal dunia, 584 orang luka-luka, dan 2 orang hilang.
Saksikan juga video 'Tsunami Banten, Ini Penjelasan BMKG':
(fjp/rna)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini