Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Aria Bima, mengaku tidak mengetahui maksud dan kepada siapa pernyataan mantan Presiden ke-6 RI itu dilontarkan. Namun, menurutnya pesan itu menunjukkan gejala post power syndrome atau sindrom pensiun SBY.
"Meskipun SBY bukan caleg maupun capres. Jadi, diksi semacam itu, cenderung ditanggapi sebagai ekspresi lebay, sebagaimana yang selama ini erat dengan tampilan curhatnya. Jelas SBY nikmat dalam curhat-curhat, begitu gejala post power syndrome," ujar Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Aria Bima, saat dihubungi, Jumat (21/12/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aria juga menilai, pesan SBY yang tidak ingin diganggu saat berkampanye, seolah menunjukkan ketidakpercayaan diri sang jenderal. Dia berpandangan, hal itu juga mengesankan SBY meminta untuk dihormati selayaknya masih menjabat presiden.
"Pernyataan SBY dalam kampanye jangan diganggu, terkesan tidak percaya diri dan menempatkan diri seolah-olah masih menjabat presiden yang harus dihormati. Pilihan diksi jangan diganggu mengisyaratkan kebutuhan untuk dihormati," katanya.
Sebelumnya, usai bertemu dengan capres Prabowo Subianto di kediamannya, SBY menggelar jumpa pers. Dalam jumpa pers itu, dia mengungkapkan bahwa partainya akan intensif berkampanye mulai Januari 2019. Dia kemudian berpesan untuk tidak diganggu.
Politikus PDIP itu pun menyayangkan sikap SBY itu. Aria lantas menyarankan SBY untuk belajar banyak dari Prabowo yang dinilainya tidak banyak mengeluh seperti SBY.
"SBY masih spt yang dulu, bayak mengeluh kata 'Bung Karno orang terlalu banyak mengeluh tanda jiwanya lemah'. Sebaiknya SBY perlu belajar banyak ke Pak Prabowo yang lebih punya jiwa sportif dalam berkompetisi," pungkas Aria.
Tonton video 'Bahas Pilpres, Prabowo dan SBY Ketemuan Lagi':
(eva/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini