Pertemuan ini diikuti Ketua KPU Arief Budiman serta Komisioner KPU, Pramono Ubaid dan Wahyu Setiawan. Selain Mahfud dan Bagir Manan, pertemuan ini diikuti pakar hukum, seperti Bivitri Susanti dan Feri Amsari, serta pengamat pemilu Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini.
"Bahwa induk dari semua hukum kita itu konstitusi. Oleh sebab itu, dalam pilihan hukum yang problematik ini, tentu kita mengusulkan agar KPU ini memilih opsi yang paling dekat dengan konstitusi. Itu pasti. Itu ada pilihan-pilihan yang akan dilakukan KPU," kata Mahfud di KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Senin (3/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud menyarankan KPU mengambil keputusan secara independen dan bertanggung jawab. Dia juga menyarankan KPU mengambil keputusan dengan cepat karena hari pemungutan suara semakin dekat.
Sementara itu, Bagir Manan mengatakan Mahkamah Konstitusi merupakan institusi hukum tertinggi. Menurut Bagir, MK adalah lembaga penafsir UUD 1945 sehingga, jika ada putusan yang paling mendekati konstitusi, itu adalah putusan MK.
"Tapi karena mengingat bahwa Mahkamah Konstitusi itu merupakan suatu lembaga yang sebagai penjaga konstitusi sudah semestinya dia dianggap sebagai juru tafsir pertama mengenai Undang-Undang Dasar itu, karena itu semestinya putusan Mahkamah Konstitusi itu yang paling dekat dengan pengertian pengertian kandungan konstitusi," ujar Bagir.
Namun Bagir menolak disebut mengusulkan KPU mengikuti putusan MK. Ia menyebut hanya memberi dukungan moral. Ia mengaku apa pun keputusan KPU akan didukung.
"Oh no... no... no..., kita tidak usul itu, itu pendapat orang," sambung Bagir.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari setuju dengan Mahfud Md dan Bagir agar KPU mematuhi konstitusi karena MK adalah institusi hukum tertinggi. Feri menyebut ada tiga faktor yang perlu dilihat dalam penegakan konstitusi, yaitu sejarah pembentukan DPD tidak diisi orang parpol, putusan MK final dan binding, serta ia berharap KPU memutuskan sesuai dengan konstitusi.
"Kami yakin tidak akan lama lagi KPU akan mematuhi itu. Mudah-mudahan bukan berarti mencoret OSO, tidak memasukkan OSO itu berarti tidak suka orangnya, tapi ini soal kehendak konstitusi. OSO masih tetap bisa mencalonkan sepanjang kehendak konstitusi itu dipenuhi oleh OSO," ujar Feri.
Merespons usulan tersebut, Ketua KPU Arief mengaku akan mendiskusikan lagi usulan tersebut. Ia menyebut nantinya akan memutuskan dengan profesional dan independen.
"Kami ingin tegaskan bahwa KPU dalam ambil putusannya secara profesional, mandiri, independen, imparsial, dan dengan keyakinan yang diyakini KPU bahwa itu adalah putusan yang benar dan baik. Jangan tanyakan hari ini akan buat putusan apa. Kami akan rumuskan baru nanti kami akan segera umumkan," ujar Arief.
Seperti diketahui, terkait pencalonan OSO sebagai caleg DPD RI, KPU berpegang pada putusan MK yang melarang pengurus partai politik menjadi calon DPD/senator. Keputusan MK soal anggota DPD tidak boleh lagi merangkap jabatan dengan menjadi pengurus parpol termaktub dalam putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018.
KPU lalu merevisi PKPU Nomor 14 Tahun 2018 menjadi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang pencalonan perseorangan peserta pemilu anggota DPD. PKPU tersebut menghambat langkah OSO sebagai caleg DPD karena posisinya sebagai Ketum Hanura.
OSO lalu mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) terhadap PKPU Nomor 26 Tahun 2018. MA lalu memutuskan Pemilu 2019 bisa diikuti calon anggota DPD yang juga pengurus parpol.
Selain itu, OSO menggugat KPU ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pencalonan dirinya sebagai caleg DPD. PTUN memenangkan OSO dan meminta memasukkan nama OSO sebagai calon anggota DPD pada Pemilu 2019. (yld/mae)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini