Beberapa kuli sindang duduk di trotoar, tak jauh dari lalu lalang kendaraan di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. Mendung hujan belum membuat mereka beranjak dari dekat pagar kompleks makam itu.
Di sudut belakang luaran makam, ada tujuh kuli duduk, salah satunya tertidur pulas. Dilihat-lihat, masa muda sudah pergi jauh dari wajah mereka. Yang paling senior ada Jarmin, usia 69 tahun. Dia bercerita tentang awal keberadaan kuli sindang di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Perjuangan Pasukan Sekop dan Pengki |
"Jadi daerah sana itu kan daerah pertanian, kami keturunan petani, begitu. Pendidikan kurang, terus terang saja. Kegiatannya seperti ini, modalnya cangkul," ujar Jarmin (69), kuli sindang asli Sindanglaut Cilacap yang sudah hampir setengah abad menjalankan pekerjaannya di Jakarta.
Jarmin (69) sang kuli sindang, nyaris kepala tujuh tapi masih bekerja. Nongkrong bersama rekan-rekan kuli sindang di kawasan TMP Kalibata. (Adhi Indra Prasetya/detikcom) |
Dengan latar belakang sebagai anak petani, mereka pun memiliki keahlian mencangkul dan menggali. Modal itulah yang mereka bawa ke Jakarta, untuk mengadu nasib di tengah susahnya ekonomi di desa. Jarmin sendiri datang mencari kerja di Jakarta semenjak awal 1972, dan menurutnya, ia bukan yang pertama.
"Di bawah tahun '60-an sudah ada. Jadi saya walaupun dari tahun 1972 tapi juga bukan yang pertama. Saya ini generasi berikutnya (dari yang terdahulu)," kata Jarmin.
Meski bukan generasi pertama kuli sindang di seantero Jakarta, namun dia merupakan angkatan pertama kuli sindang di Kalibata ini. Kawasan ini menjadi tempat nongkrong kuli sindang sejak 1980-an. Sebelum di Kalibata, Jarmin lebih sering nongkrong di kawasan sekitar Polda Metro Jaya, atau pada zaman dulu disebut sebagai Komdak (Komando Daerah Kepolisian).
Seiring waktu, kuli sindang tak lagi eksklusif berasal dari Sindanglaut, Kecamatan Lemahabang, Cirebon saja, tapi juga berasal dari daerah lain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, seperti Majalengka, Tasikmalaya, Jepara, dan Brebes. Namun dari manapun asal daerah mereka, kuli sindang-lah panggilannya.
Bekerja di Jakarta, dan terkadang tanpa ada sanak saudara di sini, membuat mereka seringkali tinggal tak beratap di kerasnya Ibu Kota. Penghasilan yang tak menentu membuat sebagian dari mereka tak mampu untuk menyewa tempat tinggal. Akhirnya pinggir jalan, kolong jembatan, halte bus, dan pos ronda perumahan menjadi tempat tinggal mereka.
Keberadaan mereka ini tentu menjadi perhatian aparat negara. Para kuli sindang ini pun pernah merasakan yang namanya penertiban, seperti yang dialami Ardi (61), kuli sindang asal Brebes Jawa Tengah yang menunggu panggilan kerja di bawah jembatan layang, di samping Stasiun Grogol, Jakarta Barat.
"Saya (pernah) ditertibkan 3 kali, waktu itu di Kedoya," ujar Ardi.
Udin (40), yang berasal dari daerah yang sama dan sedang duduk di sebelahnya, mengaku dua kali mengalami penertiban. "Dipulangkan ke kampung, tapi ya setelah pulang berangkat lagi, (karena) usahanya di sini. Sekarang sudah tidak pernah. Terakhir ditertibkan itu zaman Pak Soeharto," ujarnya.
Ardi (61), Udin (40), Dori (35), dan kawan-kawan kulli sindang di sekitar Stasiun Grogol. (Adhi Indra Prastya/detikcom) |
Saat ini, mereka tak lagi terkena penertiban aparat pemerintah. Para kuli sindang yang berada di sekitar TMP Kalibata pun sudah akrab dengan orang-orang di sekitar, termasuk para petugas kebersihan dan pedagang. Mereka bahkan bisa menumpang MCK di kamar mandi TMP Kalibata, sementara mereka yang berada di sekitar Grogol harus membayar dua ribu Rupiah di WC umum.
Meski begitu bukan berarti mereka bisa hidup lebih tenang. Tenaga mereka tak selalu dibutuhkan setiap harinya. Jika ada orang atau perusahaan yang membutuhkan jasa kuli sindang, mereka selalu siap sedia, asal nominal bayaran disepakati.
Dalam sebulan, waktu menganggur lebih banyak dibandingkan waktu bekerja. Penghasilan mereka pun tak menentu. Ada yang paling banyak mendapat Rp 3-4 juta dalam sebulan, ada yang hanya mendapatkan maksimum Rp 1,5 juta saja. Namun jika tawaran kerja sedang sepi, maka sejuta Rupiah pun tak mereka dapatkan. Rp 500 ribu sebulan bukannya jarang.
Kondisi ini yang membuat mereka tak bisa tidur nyenyak, apalagi mereka sebagai kepala keluarga harus menafkahi keluarga yang mereka tinggalkan di kampung halaman. Berutang seringkali menjadi cara bertahan hidup.
Akankah bertahan?
Masa depan kaum kuli sindang diterawang oleh Jarmin. Dia tak melihat masa depan cerah untuk kuli sindang. Jumlah kuli sindang dilihatnya sudah tak sebanyak seperti era '80-an.
"Sekarang sudah mau punah di sini, kegiatan kerjanya sudah semakin menipis. Jadi sebagian besar sudah pada keluar. Kerjanya juga semakin sepi," kata Jarmin.
Sepengamatan detikcom, wajah-wajah kuli sindang yang ditemui semuanya tua. 35 Tahun adalah usia paling muda yang saya temui, sisanya lebih tua. Bila melihat umur-umur mereka, agaknya kepunahan kuli sindang bukan ramalan belaka. Apalagi mereka juga tak melihat ada anak muda yang berminat menjadi kuli sindang.
"Karena generasi mudanya nggak pada mau sih," ujar Jarmin. Ia sendiri menyuruh anaknya untuk tak mengikuti jejaknya.
"Sebagai orang tua, kita menganjurkan wiraswasta, jualan. Karena yang namanya kerja, sudah dialami kita sendiri, sampe umur segini, repot. Apalagi ke depan. Jadi kita menyarankan pada anak-anak seperti itu, dan pelaksanaannya juga sudah ada," tutupnya.
Simak terus artikel-artikel lain tentang kuli sindang di detikcom.
(dnu/fjp)












































Jarmin (69) sang kuli sindang, nyaris kepala tujuh tapi masih bekerja. Nongkrong bersama rekan-rekan kuli sindang di kawasan TMP Kalibata. (Adhi Indra Prasetya/detikcom)
Ardi (61), Udin (40), Dori (35), dan kawan-kawan kulli sindang di sekitar Stasiun Grogol. (Adhi Indra Prastya/detikcom)