Di belakang cangkul yang tegak, ada sekumpulan orang yang duduk sepanjang hari. Mereka adalah pemilik peralatan itu. Jumlahnya sekitar 30-an orang, tersebar di berbagai titik. Mereka bukan pemalas yang nongkrong menghabiskan waktu di bawah pohon pinggir jalan, melainkan menunggu panggilan pekerjaan.
Kuli sindang, begitulah mereka biasa disebut. Saparudin (43), Ade Haryanto (48), Yaya Mardian (36), dan Dasim (41) adalah sebagian dari banyak kuli sindang yang menegakkan cangkul di jalan raya depan makam pahlawan. Mereka duduk beralas terpal, menyender ke pagar tembok makam para pahlawan. Sejak pagi, mereka sudah mulai muncul di sini dan menanti datangnya panggilan rezeki. Saat sore tiba dan matahari sudah mulai terbenam, barulah mereka mulai meninggalkan trotoar dan menuju tempat mereka beristirahat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
'Siapa tahu', dua kata yang menggambarkan ketidakpastian nasib mereka di Ibu Kota. Perkara bertahan hidup tergantung dengan datangnya tawaran kerja yang entah berapa lama lagi datangnya. Pekerjaan yang dilakukan para tukang gali ini bermacam-macam, sesuai dengan permintaan yang datang. Pihak yang memberikan pekerjaan juga beragam, mulai dari perorangan hingga perusahaan yang menawarkan proyek.
![]() |
"Galian septic tank, galian saluran, galian kabel, gali kuburan, bongkar-bongkaran gedung, atau penebangan pohon. Apa saja yang disuruh. Siapa saja yang menyuruh pada tukang gali. Bukannya minta-minta ini, kalau ada kerjaan, walaupun malam juga dikerjakan, begitu," ujar Ade, yang duduk hanya sepelemparan batu dari lokasi Saparudin.
"Kalau ada yang manggil, ya kerja. Ke mana saja, asal sesuai, harganya berani, ngasih harganya, begitu," ujar pria berkumis ini.
Menurut Ade, mereka yang duduk menunggu pekerjaan galian ini berjumlah sekitar 60 orang, dan hampir semuanya berasal dari Jawa Barat. Kesamaan profesi dan lingkungan kerja selama bertahun-tahun membuat mereka berhubungan baik satu sama lain.
![]() |
"(Asalnya) Bercampuran, (ada yang) dari Jawa, Sindang, Jonggol (Bogor), Cirebon, Majalengka, Sumedang, bercampur, dari mana saja. Akur semuanya pak. Saya sendiri asal Majalengka," ujarnya.
Mengapa memilih TMP Kalibata sebagai lokasi untuk menunggu panggilan kerja, Yaya menyebut alasannya karena tempat ini sudah diketahui banyak orang yang membutuhkan tukang gali untuk mengerjakan proyek galian.
"(Sebetulnya) Di tempat lain banyak juga tukang gali. Di Grogol ada, di Cawang juga ada. Cuma kalau di sini, (orang) sudah pada tahu. Sudah nongkrong di sini sejak lama. Makanya cari kerjanya di sini," jelasnya.
Penghasilan Tak Menentu dan 'Waktu Senggang' Yang Terlalu Banyak
Meski setiap hari para tukang gali ini duduk menunggu panggilan kerja, namun nyatanya tak setiap hari mereka mendapat pekerjaan. Bahkan waktu mereka menganggur lebih banyak ketimbang bekerja.
"Paling sebulan empat kali. Kadang seminggu sekali juga nggak (dapat). Kalau lagi ada, kita bisa 2-3 hari kerjanya," ujar Saparudin pada 16 November 2018 lalu.
Sepuluh hari berselang, yakni 26 November 2018, detikcom bertemu Saparudin untuk kedua kalinya, ia bahkan mengaku baru mendapatkan satu pekerjaan saja. "Baru dapat duit Rp 150 ribu, membersihkan saluran air di kamar mandi yang mampet, rumah di Cawang," ujarnya.
Tak hanya Saparudin yang jarang mendapat kerja, baik Yaya, Dasim, maupun Ade juga mengamini hal tersebut. Kuli sindang sulit mendapat kerja di Ibu Kota.
"Kerja sama nganggur banyakan nganggur lah," ujar Yaya. "Daripada kerja, banyak nganggurnya tukang gali ini. Saya 10 hari pun pernah pak, nggak dapat pekerjaan. Di sini nongkrong, kadang-kadang makan juga nggak. Mau minta kan malu. Tidak pernah pak minta-minta kalau tukang gali. Kalau ada yang ngasih diterima, kalau nggak ada ya diam aja begitu," ucap Ade, senada dengan Yaya.
Sedikitnya pekerjaan yang diperoleh tentu berimbas pada penghasilan. Jumlah yang diterima mereka tak menentu. Ade misalnya, pria beranak tiga ini sering mendapat penghasilan sekitar Rp 1 juta sebulan dari Kota Metropolitan ini.
Baca juga: Perjuangan Pasukan Sekop dan Pengki |
"Sebulan paling besar pernah dapat Rp 3-4 juta. Kalau minimnya paling-paling Rp 1 juta juga nggak ada. Kalau nggak ada yang nyuruh gitu, sejuta juga nggak ada," ujar Ade.
Lain halnya dengan Yaya. Ia mengaku paling banyak hanya pernah mendapatkan Rp 1,5 juta dalam satu bulan. Padahal jumlah tersebut masih harus dibagi-bagi untuk keluarganya di kampung. Dia punya dua anak yang harus dihidupi. Sementara Dasim dan Saparudin mengaku paling banyak mendapatkan sekitar Rp 2 juta dalam sebulan.
"Kadang dapat Rp 2 juta, kalau ada. Kalau lagi kosong juga paling sebulan cuma dapat ongkos doang, paling buat makan," ujar Saparudin. "Sebulan bekerja paling seminggu, pendapatan kadang-kadang tak terhitung, hari ini kerja besok terpakai buat makan lagi. Kalau sebulan kadang-kadang dapat Rp 2 juta paling banyak, tapi kebanyakan satu bulan dapat paling berapa, hanya Rp 300 ribu," ujar Dasim.
Ketidakpastian uang yang didapat membuat mereka juga susah untuk mengatur kehidupan sehari-sehari. Dasim berjuang membayar kontrakan yang letaknya tak jauh dari TMP Kalibata, dia tinggal bersama istrinya yang seorang pembantu rumah tangga.
Baca juga: Walau Lapar, Pantang Jadi Maling |
Sedangkan Ade, Yaya, dan Saparudin bahkan tidak punya tempat tinggal tetap selama di Jakarta. Keluarga mereka pun tidak bisa dibawa ke Ibu Kota. Mereka hanya bisa berjumpa anak dan istri beberapa kali saja dalam setahun, jika punya uang untuk pulang ke rumah.
"Saya pun tidur nggak ngontrak, tidur tergeletak di kebun samping TMP Kalibata, ada tanah kosong. Bareng tukang-tukang lain. Pakai kardus sama terpal tidurnya, pake tenda nggak boleh sama Satpol PP," ujar Ade. Yang dimaksud 'kebun' olehnya adalah lahan kecil kosong yang ditumbuhi rumput liar. Saat hujan, ia harus pindah tidur di halte bus depan TMP.
![]() |
Yaya pun kadang tidur di jalanan, namun ia juga sesekali bisa menumpang di pos RW yang ada di seberang TMP Kalibata. Begitu pula Saparudin.
"Saya nggak ngontrak. Kadang kalau pas mau bayar kontrakan kan duitnya nggak ada," pungkas Saparudin.
![]() |
Simak terus artikel-artikel lain tentang kuli sindang di detikcom.
(dnu/fjp)