"Pengajuan IG ini karena ada kekhawatiran gringsing kita dijiplak, sekarang ini dengan kemajuan teknologi digital rinting, sablon kan jadi mudah. Bagi kita satu kesatuan utuh, ada kekhawatiran dari dinas perindustrian, kita berharap ada pengakuan dari Pegringsingan dengan canggihnya teknologi penjiplakan, minimal ada pengakuan inilah asli Tenganan," ujar Perbekel Desa Tenganan, I Putu Yudiana ketika ditemui di Karangasem Festival akhir pekan lalu.
Yudiana mengatakan dengan bantuan dari Kementerian Perindustrian pihaknya dibantu untuk mengakomodir hak paten tersebut. Pihaknya mengakui untuk pengajuan hak kekayaan intelektual (HAKI) ditemui kesulitan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yudiana menambahkan tenun gringsing sudah menjadi budaya di desanya. Memasuki usia remaja, perempuan sudah diajarkan untuk mulai membuat benang.
"Rata-rata wanita sudah bisa menenun, karena ada upacara di bulan ke-11 bikin benang, setiap pengantin baru bisa buat benang. Jadi menenun ini proses pengajarannya dlakukan lewat upacara. Upacara adat kami wajib pakai gringsing, dan ada saat tertentu tidak boleh dipakai, bahkan kita bisa tahu itu ibu menyusui hanya dengan melihat kain yang dia pakai," tuturnya.
Yudiana mengatakan selama ini belum menemui adanya kasus penjiplakan. Meski begitu, banyak produk-produk lain yang disebut menggunakan motif gringsing.
"Kalau penjiplakan proses dari awal nggak ada. Mungkin motif diambil, kayak ada minuman pakai motif gringsing tapi buat kami itu bukan gringsing, kalau untuk motif-motif sutera itu banyak sekali," ujar Yudiana.
Untuk diketahui hak indikasi geografis ini diterima Desa Tenganan pada 2016 lalu. Hak eksklusif itu dikantongi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) setempat. (ams/asp)











































