Untuk proses pewarnaan saja bisa menghabiskan waktu hingga lebih dari setahun, dan melalui minimal 3 kali proses pewarnaan. Tak hanya itu, penggunaan kain ini sebenarnya sangat terikat dengan kegiatan adat.
"Kalau gringsing ini kan asal kata dari gering dan sing. Gering artinya wabah, sing itu tidak, yang sering salah diartikan kalau orang pakai tenun gringsing ini bakal sembuh dari sakit. Padahal ini mengandung harapan agar terhindar dari wabah atau sakit," kata Perbekel Desa Tenganan, I Putu Yudiana ketika ditemui di Karangasem Festival akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yudiana menjelaskan keunikan lain dari tenun gringsing yaitu ada di teknik tenun dobel ikat. Selama ini hanya tenun gringsing yang satu-satunya menggunakan teknik tersebut di Indonesia.
"Selain Desa Tenganan, ada juga di India daerah Patola, dan Jepang. Cara pengerjaan kami pakai teknik tradisional, pewarna alam, waktu paling cepat untuk sehelai kain 2,5 tahun dan memakai benang dari kapas murni," jelasnya.
Yudiana mengatakan proses awal dimulai dari benang yang dicelupkan ke dalam minyak kemiri selama 5 minggu. Kemudian ada proses pembuatan motif yang dinamakan medbed, yaitu mengikat benang dengan tali rafia sebelum diberi warna.
"Dibuat motif dengan medbed, setelah itu dicelup dengan warna biru dari indigo, sekarang gringsing nggak ada biru. setelah biru ini jadi tidak boleh dicelup di Tenganan, karena baunya luar biasa. Bagian yang diikat tadi dibuka, kemudian dikasih tepung mengkudu yang bagus kan dari Nusa Penida. Indigo dikasih tepung kepundung, yang biru jadi merah, ini prosesnya lama karena menggunakan warna alami. Sekarang dicelup dan dikeluarkan, dicelup degan warna yang tadi kan bersih dikeringkan baru tiga bulan dicelup lagi tergantung pengrajinnya sampai ketemu warna gringsing merah, hitam, putih atau hitam dan putih," urainya.
Dengan proses yang rumit tersebut tak heran jika untuk proses pewarnaan saja bisa menghabiskan waktu hingga bertahun-tahun. Yudiana menambahkan semakin lama, kain tenun gringsing khas Tenganan bakal memiliki warna yang bagus.
"Proses 2 sampai 2,5 tahun itu paling cepat, kan pakai nunggu kering, ada yang nunggu 5 tahun. Bedanya gringsing dengan kain yang lain kalau gringsing semakin lama makin bagus. Kalau gringsing kuno usianya itu lebih dari 50 atau 100 tahun. Saat Februari akhir, gringsing-gringsing kuno itu keluar untuk dipakai nari waktu acara adat," terangnya.
Dia menyebut dengan proses yang rumit dan butuh waktu lama itu tenun gringsing memiliki harga yang relatif tinggi.
"Paling kecil di pasar Rp 700 ribu, yang rumit Rp 16 juta. Untuk yang tahu proses memang lama sekali," ucapnya.
Yudiana mengatakan dengan hak paten ekslusif itu berupa hak indikasi geografis (IG) itu banyak warga desanya yang tetap menekuni tenun gringsing. Malahan, kini beberapa warga desa yang terampil sedang menyusun motif baru.
"Signifikan, dengan IG (Indikasi Geografis) kami bisa bernafas lega sudah ada pengakuan hanya diproduksi di Tenganan Pegringsingan. Gringsing ini juga banyak buka lapangan kerja, dampak pariwisata sekarang baik wisatawan mancanegara maupun domestik hampir semua nyari, bahkan orang mau prewed itu sekarang kurang lengkap kalau tanpa gringsing," terangnya.
"Kemarin yang sudah didaftarkan ada 27 motif, sekarang lagi dibuat motif baru sama orang-orang arsitek asli Tenganan dan tahu filosofinya," ujar Yudiana. (ams/asp)











































