Kasus Calon DPD-Baiq Nuril, Pengadilan Dinilai Memperumit Masalah

Kasus Calon DPD-Baiq Nuril, Pengadilan Dinilai Memperumit Masalah

Andi Saputra - detikNews
Kamis, 22 Nov 2018 08:25 WIB
Gedung Mahkamah Agung (MA) (ari/detikcom)
Jakarta - Pengadilan seharusnya menjadi tempat mencari solusi atas masalah yang ada. Tapi yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir justru sebaliknya. Putusan-putusan pengadilan malah menjadi sumber masalah baru dan menambah rumit konflik di masyarakat.

"Terjadi pergeseran fungsi kekuasaan kehakiman yang bukan lagi menjadi institusi pemberi solusi dan jawaban atas berbagai persoalan dan konflik di masyarakat, melainkan justru ikut menambah kerumitan penyelesaian konflik tersebut," kata ahli hukum tata negara, Dr Bayu Dwi Anggono, kepada detikcom, Kamis (22/11/2018).


Pernyataan itu menjadi sari diskusi yang digelar Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) di Jember, Rabu (21/11) sore. Hadir dalam diskusi itu peneliti Puskapsi, Gautama Arundhati; dan dosen FH Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan. Analisis di atas mengambil sampel pada kasus larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD dan kasus Baiq Nuril.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal ini diakibatkan tidak padunya badan peradilan dalam memberikan sikap dan putusan atas satu persoalan yang sama yang muncul dalam kehidupan bernegara," ujar Bayu.

Berdasarkan versi MK, calon senator tidak boleh dari pengurus parpol. Tapi versi MA, boleh sepanjang untuk Pemilu 2019. Munculnya tumpang-tindih putusan pengadilan atas isu yang sama ini telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum akut. Akibatnya berujung pada sulitnya melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut.

"Jika kondisi ini terus terjadi, yaitu putusan-putusan tidak bisa dieksekusi akibat cacat bawaan dalam putusan tersebut, hal itu akan meruntuhkan wibawa badan peradilan. Dan di sisi lain, kepercayaan publik kepada badan peradilan akan terus berkurang. Menurunnya kepercayaan publik kepada badan peradilan merupakan alarm bahaya bagi negara hukum," papar Bayu, yang juga Direktur Puskapsi.


Belakangan, PTUN Jakarta meloloskan nama pengurus parpol untuk masuk menjadi calon DPD. Padahal MK jelas-jelas menyatakan sebaliknya.

"Hal ini merupakan puncak dari berbagai bentuk ketidakpaduan antar-badan peradilan selama ini. Padahal, dalam negara hukum yang menganut supremasi konstitusi, badan peradilan harusnya melaksanakan kewenangan sesuai dengan mandat yang diberikan oleh konstitusi dan bukan dengan tafsir masing-masing lembaga yang berakibat terjadinya saling sikut antar-putusan yang dihasilkan. Ditambah lagi para hakim sebelum menjabat telah bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 sehingga apa pun alasannya tidak bisa mereka membuat putusan yang berlawanan dengan isi UUD 1945," papar Bayu.


Selain ketidakpastian hukum, saat ini kesan profesionalisme putusan hakim dalam memberikan putusan juga menurun. Hakim, yang harusnya dalam membuat putusan menggali, menemukan, dan mengikuti cita keadilan masyarakat, justru berjarak dengan cita keadilan masyarakat sebagaimana tampak dalam kasus Baiq Nuril.

"Yang lebih prihatin lagi kemudian adalah saat timbul kegaduhan di publik pengadilan justru merasa tidak bertanggung jawab atas putusan yang demikian dan lebih menyerahkan kepada cabang kekuasaan lain untuk menyelesaikannya seperti cabang kekuasaan eksekutif. Padahal seharusnya ujung dari penyelesaian semua persoalan adalah di kekuasaan kehakiman," cetus Bayu.


Simak Juga 'Tangis Bu Nuril Divonis 6 Bulan karena Rekam Obrolan Mesum Kepsek':

[Gambas:Video 20detik]


Kasus Calon DPD-Baiq Nuril, Pengadilan Dinilai Memperumit Masalah
(asp/nvl)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads