"Terjadi pergeseran fungsi kekuasaan kehakiman yang bukan lagi menjadi institusi pemberi solusi dan jawaban atas berbagai persoalan dan konflik di masyarakat, melainkan justru ikut menambah kerumitan penyelesaian konflik tersebut," kata ahli hukum tata negara, Dr Bayu Dwi Anggono, kepada detikcom, Kamis (22/11/2018).
Pernyataan itu menjadi sari diskusi yang digelar Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) di Jember, Rabu (21/11) sore. Hadir dalam diskusi itu peneliti Puskapsi, Gautama Arundhati; dan dosen FH Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan. Analisis di atas mengambil sampel pada kasus larangan pengurus parpol menjadi calon anggota DPD dan kasus Baiq Nuril.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan versi MK, calon senator tidak boleh dari pengurus parpol. Tapi versi MA, boleh sepanjang untuk Pemilu 2019. Munculnya tumpang-tindih putusan pengadilan atas isu yang sama ini telah menciptakan suatu ketidakpastian hukum akut. Akibatnya berujung pada sulitnya melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut.
"Jika kondisi ini terus terjadi, yaitu putusan-putusan tidak bisa dieksekusi akibat cacat bawaan dalam putusan tersebut, hal itu akan meruntuhkan wibawa badan peradilan. Dan di sisi lain, kepercayaan publik kepada badan peradilan akan terus berkurang. Menurunnya kepercayaan publik kepada badan peradilan merupakan alarm bahaya bagi negara hukum," papar Bayu, yang juga Direktur Puskapsi.
Baca juga: Baiq Nuril: Luar Biasa Sakitnya... |
Belakangan, PTUN Jakarta meloloskan nama pengurus parpol untuk masuk menjadi calon DPD. Padahal MK jelas-jelas menyatakan sebaliknya.
"Hal ini merupakan puncak dari berbagai bentuk ketidakpaduan antar-badan peradilan selama ini. Padahal, dalam negara hukum yang menganut supremasi konstitusi, badan peradilan harusnya melaksanakan kewenangan sesuai dengan mandat yang diberikan oleh konstitusi dan bukan dengan tafsir masing-masing lembaga yang berakibat terjadinya saling sikut antar-putusan yang dihasilkan. Ditambah lagi para hakim sebelum menjabat telah bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 sehingga apa pun alasannya tidak bisa mereka membuat putusan yang berlawanan dengan isi UUD 1945," papar Bayu.
Selain ketidakpastian hukum, saat ini kesan profesionalisme putusan hakim dalam memberikan putusan juga menurun. Hakim, yang harusnya dalam membuat putusan menggali, menemukan, dan mengikuti cita keadilan masyarakat, justru berjarak dengan cita keadilan masyarakat sebagaimana tampak dalam kasus Baiq Nuril.
"Yang lebih prihatin lagi kemudian adalah saat timbul kegaduhan di publik pengadilan justru merasa tidak bertanggung jawab atas putusan yang demikian dan lebih menyerahkan kepada cabang kekuasaan lain untuk menyelesaikannya seperti cabang kekuasaan eksekutif. Padahal seharusnya ujung dari penyelesaian semua persoalan adalah di kekuasaan kehakiman," cetus Bayu.
Simak Juga 'Tangis Bu Nuril Divonis 6 Bulan karena Rekam Obrolan Mesum Kepsek':
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini