"Intinya, kalau dari data kami rilis, lembaga riset, lembaga survei, nggak punya dampak terhadap prilaku pemilih di tingkat massa. Karena, pertama, pemilih itu sendiri yang akses hasil survei nggak banyak, mereka yang peduli dengan hasil lembaga survei kan hanya sebagian kecil dari populasi pemilih," jelas Burhan di sela 'Workshop Jurnalis Melek Politik' yang digelar AJI Jakarta, PERSEPI, dan CSIS di gedung Pakarti, Jl Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Jumat (16/11/2018).
Kemudian, faktor kedua, lanjut Burhan, hasil lembaga survei masing-masing punya perbedaan. Hal itu menjadi salah satu alasan hasil survei tersebut tidak menyeluruh di masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kedua, hasil lembaga publik kan beda-beda, jadi terjadi pluralitas hasil survei, dan membuat dampak rilis satu lembaga survei nggak bersifat homogen. Jika itu terjadi untuk mengatakan lembaga survei tidak punya dampak ke perilaku pemilih," jelasnya.
Dia menjelaskan dua faktor tersebut sudah terbukti dengan adanya dua teori, yaitu teori bandwagon effect dan underdog effect. Kedua teori tersebut menjelaskan mengenai perilaku atau sifat pemilih.
Bandwagon effect adalah perilaku pemilih yang memilih calon presiden atau partai politik yang dianggap pemilih ikut ke rombongan pemenang.
Sedangkan underdog effect adalah pemilih yang cenderung memilih calon presiden atau kepala daerah atau parpol yang selalu diposisikan kalah menurut lembaga survei.
"Banyak lembaga survei yang memprediksi si calon atau partai politik akan mendapat suara rendah sehingga pemilih cenderung bersimpati kepada parpol yang suaranya kecil. Nah, pertanyaannya, apakah itu terbukti? Data saya nggak menunjukkan itu," ungkapnya.
"Jadi data saya menunjukkan, baik underdog maupun bandwagon effect tidak bekerja untuk menarik perilaku pemilih di tingkat pasar," katanya. (zap/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini