"Kalau dari segi keadilan di proses pertama itu periksa materiil apakah suatu itu terjadi atau tidak dan di MA itu memeriksa formil apakah diputuskan dalam prosedur yang benar atau tidak. Sebenarnya dalam ini substansinya ya sebenarnya apa yang terjadi di putusan sebelumnya itu menjadi sesuatu yang lebih bermakna dilihat secara formil di MA," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat dihubungi detikcom, Minggu (11/11/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dunia pendidikan inikan ada dua konteks, pertama, konteks hak asasi manusia itu memang dituntut moralitas yang tinggi. Bahkan ada pengaturan soal seksualitas memang dilarang dalam hubungan itu. Kedua, ini dalam konteks dunia pendidikan ada suatu nilai yang ingin dibangun," tambahnya.
Kendati demikian, putusan MA itu tetap harus dihormati. Ia juga mendukung Nuril mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait vonis 6 bulan penjara tersebut.
Choirul menambahkan Komnas HAM juga siap mendampingi Nuril jika memang dibutuhkan. Komnas HAM bersedia memberikan pandangan-pandangan hukum dalam membantu proses peradilan.
"Komnas HAM itu kan punya satu kewenangan, salah satunya memberikan pandangan hukum karena ini ranahnya sudah, ranah peradilan salah satunya itu, memberikan pandangan-pandangan hukum kita bisa berikan pandangan hak asasi manusia, kalau sudah masuk proses peradilan kita bisa berikan pandangan-pandangan HAM," jelasnya.
Kasus yang bikin heboh pada 2017 ini bermula ketika Baiq Nuril, yang merupakan staf honorer di SMAN 7 di Mataram, merekam pembicaraan M dengan dirinya pada 2012.
M sendiri adalah atasan Nuril, yang juga Kepala SMAN 7. Dalam percakapan itu, M menceritakan hubungan badannya dengan seorang perempuan. Belakangan, percakapan itu terbongkar dan beredar di masyarakat. M tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi pada 2015.
Setelah dua tahun berlalu, Nuril diproses polisi dan ditahan sejak 27 Maret 2017. Nuril disangkakan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Dia pun ditahan di tingkat penyidikan hingga persidangan.
Sejumlah aktivis membuat gerakan #SaveIbuNuril. Pada Juli 2017, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril. Hakim PN Mataram menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE di Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) sebagaimana dakwaan jaksa. Namun di tingkat kasasi, Nuril divonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
Namun, pada 26 September 2018, nasib Nuril berubah total. Aroma kebebasan yang dia rasakan dikandaskan majelis kasasi. Lewat kuasa hukumnya, Nuril menegaskan akan melawan kasasi tersebut di tingkat peninjauan kembali (PK). (ibh/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini