PSI melakukan uji materi terhadap pasal 1 angka 35 khususnya frasa citra diri. Pada kesaksiannya, dia menjelaskan terkait kasus dirinya yang dilaporkan Bawaslu ke Bareskrim Polri mengenai dugaan curi start iklan kampanye di media cetak, tetapi menurut Chandra tujuan pemasangan iklan itu untuk mengadakan pendidikan politik.
"Saksi yang berminat mengadakan pendidikan politik dan sosialisasi maupun melalui Polri telah dicap melakukan curi start kampanye oleh pihak-pihak berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 35 UU Pemilu 2017, khususnya pada frasa atau citra diri," kata Chandra di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (5/11/2018).
"Meski dalam perjalanannya kepolisian telah menerbitkan surat penghentian penyidikan pada Mei 2018, bahwa reputasi dan nama baik saksi telah tercederai seolah-olah saksi sudah melawan peraturan perundang-undangan yang berlaku," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saksi, tidak mengalami kerugian konstitusionalitas. Memang oleh Bawaslu Anda ada dugaan melakukan kampanye lebih dulu terselubung dilaporkan, tapi secara hukum Anda tidak bersalah karena sudah di SP3 berati saudara nggak ada kerugian karena menurut Bawaslu baru dugaan pelanggaran terhadap pasal ini. Ternyata nyatanya polisi nggak bilang dugaan pelanggaran karena nggak ke pengadilan berarti sebetulnya tidak ada konstitusionalitas dengan dihentikannya penyidikan berati secara hukum nggak ada masalah berarti sebenarnya ini menyangkut implementasi pasal, pasal yang dituduhkan tidak terbukti jadi nggak tercemar. Saya pernah diperiksa KPK semua tapi nggak tercemar karena benar. Berarti Anda baper merasa dicemarkan, kalau tercemar nggak bisa jadi saksi di sini," kata Arief.
Baca juga: MK Minta PSI Perbaiki Gugatan Iklan Parpol |
"Yang Mulia, kenapa saya merasa terganggu hak konstitusionalnya karena sehari setelah kami pemasangan iklan publikasi kami tanggal 23 April, tanggal 24 April di (salah satu media nasional) juga memasang iklan setengah halaman. Bahkan di sana ada logo, nomor urut partai, sekjen,ketum dan seluruh jajaran DPP untuk mengajak seluruhnya gabung jadi caleg. Lantas pertanyaan kami, ada ketidakadilan ketika tanggal 24 April dari (partai politik) memasang iklan tapi lantas nggak diserahkan Gakumdu dan saya sudah mempertanyakan itu ke Bawaslu tapi nggak dijawab," ungkap Chandra.
Sementara itu saksi ahli yang dihadirkan PSI, Ade Armando, menilai Pasal 275 ayat 2 serta Pasal 276 ayat 2 di UU Pemilu soal larangan partai politik beriklan di media massa pada 21 hari sebelum masa tenang merugikan partai politik baru. Menurut Ade, pasal tersebut tidak memberikan kesempatan yang banyak bagi partai baru untuk beriklan di media massa, padahal partai baru masih perlu dipromosikan ke seluruh Indonesia.
"Pasal ini bermasalah, saya percaya dibuat dengan niat baik. Ada kampanye below the line yang artinya tatap muka, kedua adalah above the line, yaitu iklan di media massa dan internet. Hanya saja, UU ini membedakan secara tegas kapan kampanye dimulai. Yang mengherankan buat saya adalah masa yang waktu sangat singkat. Untuk wilayah geografis di Indonesia, media massa yang paling menjangkau adalah televisi. Kalau hanya 21 hari, hanya membangkitkan kesadaran dengan partai namun tidak ada waktu cukup untuk mencari informasi mengenai partai tersebut. Seharusnya itu kompelementer, saling melengkapi. Bagaimana dengan partai dan caleg baru," kata Ade.
Menurutnya, maksud dari pasal tersebut sebenarnya benar untuk mencegah ketimpangan antara partai dengan modal besar untuk beriklan di media massa dengan partai baru. Namun, Ade menilai dibandingkan kampanye dengan alat peraga, iklan di media televisi bisa lebih efektif karena menjangkau hingga seluruh daerah di tanah air.
"Memasang iklan di TV memang mahal, namun jika dibandingkan dengan daya jangkaunya, sebanding dengan hasil yang diperoleh apalagi Indonesia sangat luas. Potensi gesekan kampanye di lapangan lebih besar dibandingkan di above the line. Partai harus membayar lebih besar jika tidak bisa beriklan di media massa, alat peraga puluhan ribu untuk berkampanye di seluruh di Indonesia. Nilainya jauh dari sedikit. Bila mereka tidak bisa beriklan, sangat sulit. Ini mengancam partai dan masyarakat. Sulit mencapai hasil yang optimal meskipun calegnya berkualitas dan berintegritas," kata Ade.
Sebelumnya, perkara ini diujimaterilkan oleh PSI dan pemohon kedua, Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim. PSI mempersoalkan pasal 1 ayat 35, Pasal 275 ayat 2 serta Pasal 276 ayat 2 di UU Pemilu. Sementara pemohon kedua mempermasalahkan Pasal 429 UU Pemilu karena terancam ketentuan pidana akibat kampanye pemilu di luar jadwal yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Turut hadir dalam sidang tersebut pihak terkait dari LBH Perindo.
(yld/gbr)