Tak mudah menjawab pertanyaannya itu. Di zamannya yang belum ada internet, membuat ia harus mengumpulkan tulisan dari koran terkait pesawat. Bahkan, ia berkali-kali harus berurusan dengan petugas keamanan bandara, saat ia mencoba menyelinap di runway pesawat hanya untuk melihat pesawat lebih dekat.
"Waktu itu belum ada internet, yah paling saya bisa kumpulkan bahan koran yang ada tulisan tentang pesawat. Pernah saya dikejar-kejar sama petugas bandara karena masuk mendekati runway, hanya untuk melihat pesawat dari dekat," katanya, Selasa (30/10/2018).
Saat pertama kali membuat pesawat nirawak, warga Desa Jene Taesa, Kecamatan Simbang, Maros, Sulawesi Selatan ini mengaku mendapat banyak cibiran dari warga lainnya. Namun, hal itu tidak membuat ia patah arang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Uang untuk membeli peralatan pembuatan pesawat itu, dikumpulkan selama setahun. Ia berani bereksperimen karena ingin menunjukkan dirinya bisa mewujudkan obsesinya itu, walaupun dirinya saat itu tidak yakin bisa mengontrol pesawat nirawak yang sama sekali tidak pernah ia lakukan selama hidupnya.
"Waktu itu saya hanya berfikir agar pesawat ini bisa terbang dulu. Nah dulu tuh di sini susahnya tidak ada jalanan yang bagus dan bisa dipakai untuk menerbangkan pesawat. Makanya setiap kali mencoba selalu gagal terbang. Belum lagi saya tidak pernah mengontrol pesawat sebelumnya," ungkapnya.
Sering perjalanan waktu, Mustafa yang awalnya membuat pesawat dengan tripleks, kini menggunakan limbah stereofoam tempat pengawet ikan. Sementara mesin yang awalnya dipakai menggunakan bahan bakar, juga ia ganti menjadi elektrikal.
Jenis pesawat yang ia buat mulai dari F16, Sukhoi SU35, Mustang, Cesna 182 dan glaider.
Karena terbatasan modal, suami dari Muliana ini tidak mampu mengembangkan lebih jauh keahliannya itu. Padahal, ia mengaku bisa membuat jenis pesawat nirawak lain yang lebih canggih, bahkan pesawat tanpa awak yang digunakan oleh militer untuk mengintai atau menyerang.
"Kalau sudah tahu prinsip dasarnya, semua bisa kita buat. Tapi kan sangat mahal yah. Misalnya, satu drone, itu kalau pesawat jenis saya, sudah bisa empat buah itu. Yah memang kelemahannya di modal sih. Kalau ada yang mau biayai, saya siap membuat yang lebih canggih," akunya.
Saat ini, Mustafa tergabung dalam komunitas Maros Aero Sport Club (MASC). Ia berharap, suatu saat pesawat nirawak buatannya bisa dipasarkan ke seluruh pecinta aeromodeling di Indonesia karena tidak kalah dengan buatan pabrikan. Dirinya sangat bersyukur, bisa dipublikasi oleh media, setelah sekian lama berharap ada media yang meliriknya. (asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini