"Yang dimaksud coattail effect berarti pemilih itu cenderung akan mengikuti pilihannya terhadap capres dan cawapresnya. Ketika dia akan memilih capres-cawapres, maka akan memilih partai utama yang mengusungnya," kata Profesor Riset Pusat Penelitian Politik LIPI, Prof Lili Romli, saat berbincang dengan detikcom, Senin (22/10/2018).
Baca juga: PKS Berharap Coattail Effect Sandiaga |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdasarkan kajian di (Amerika) Latin, kecenderungan yang ikutan koalisi tak berpengaruh positif. Di Indonesia dari survei-survei, yang beruntung PDIP dan Gerindra, jadi yang terapresiasi partai utama saja," ujar Romli.
Sementara itu, di Amerika Serikat, yang hanya ada dua partai, kecenderungannya adalah perebutan kursi senat. Kecenderungan deviasi pemilih di AS lebih sedikit ketimbang di negara lain yang menganut multipartai.
"Kebetulan di Amerika 2 partai. Yang memilih Donald Trump untuk senatnya (pilih) Partai Republik. Kalaupun ada, sedikit deviasinya. Popular vote dan electoral vote berbeda, bisa jadi popular vote tinggi tapi electoral rendah, tapi deviasinya sedikit, artinya masih linear," tutur Romli.
Kembali ke Pilpres 2019 di Indonesia, meski Sandiaga sudah bukan lagi kader Gerindra, Prof Romli menilai hal itu tak terlalu berpengaruh banyak pada partai pengusungnya yang lain. Kecuali ada strategi komunikasi tertentu yang memisahkan antara Sandiaga dan Gerindra.
"Persoalannya adalah tingkat pemahaman masyarakat, pengetahuan pemilih terhadap hal tersebut," kata dia.
Buntut coattail effect di negara multipartai, seperti Indonesia, kata Romli, bisa jadi nantinya partai politik hanya mengampanyekan partainya. Mereka yang khawatir tak mendapat coattail effect ada kemungkinan tak mengampanyekan capres atau cawapres. (bag/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini