Analisis Polmark tersebut dipaparkan CEO PolMark Indonesia Eep Saefulloh dalam diskusi publik dengan tema 'Dari Pilkada 2015-2018 dan Peta Baru Pilpres 2019', di Hotel Veranda-Pakubuwono, Jl Kyai Maja No 63, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2018).
PolMark memulai analisisnya dengan melihat peta koalisi parpol di Pilpres 2014 dan dampaknya terhadap koalisi parpol di Pilkada serentak tahun 2015. Hasilnya ada banyak kasus di Pilkada 2015 parpol melakukan koalisi dengan parpol yang menjadi lawannya di Pilpres 2014.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eep memandang dampak koalisi parpol di Pilpres 2014 terhadap koalisi parpol di Pilkada 2015 memang ada, namun dampak tersebut terbatas. Data statistik yang ditemukan PolMark Indonesia dampak Pilpres 2014 terhadap koalisi di Pilkada 2015 tidak lah signifikan.
Dalam presentasi yang ditampilkan Eep menunjukkan di Pilkada 2015 ada 58 kasus PDIP berkoalisi dengan PKS. Sementara itu juga ada 57 kasus Gerindra dan PDIP berkoalisi.
"Benar bahwa ada jejak pada beberapa kasus, tetapi amat sangat banyak kasus lebih banyak kasus di mana koalisi terjadi lintas koalisi pilpres. Jadi ketika Pilpres selesai kemudian Pilkada diadakan bekasnya masih ada tetapi tidak menyeluruh," ujarnya.
Eep juga membandingkan koalisi parpol di Pilkada 2017 dan dampaknya terhadap koalisi Pilpres 2019. PolMark pun menemukan hasil yang sama, bahwa koalisi di Pilkada 2017 tidak berdampak ke koalisi Pilpres 2019.
"Bagaimana dengan Pilkada 2017, nah kalau ini harus dibandingkan kedua-duanya kan, 2017 itu menyongsong 2019, 2015 juga jaraknya baru 2 tahun (dari Pilpres 2014). Jadi sama-sama 2 tahun dan ternyata sama. Dibandingkan 2014 jejaknya tidak membekas dengan 2019, pilkada 2017 tidak merupakan semacam pembuatan track untuk koalisi pilpres 2019," kata Eep.
Baca juga: Geliat Kepala Daerah di Pilpres |
Dari data yang dipaparkan Eep, di Pilkada 2017 ada 34 kasus Golkar berkoalisi dengan Gerindra. Juga ada 23 kasus PDIP berkoalisi dengan PKS. Dan ada 29 kasus Demokrat berkoalisi dengan PDIP.
"Bagaimana dengan pilkada (2018) terakhir kemarin dengan pilpres 2019, ternyata sama. Sekalipun kalau kita pisahkan koalisi yang banyak jumlahnya ini, maka seolah-olah datanya menunjukkan bahwa pengecualian hanya pada Hanura, PAN dan NasDem. Koalisi Pilpresnya sama dengan koalisi Pilkada, Hanura-NasDem sama-sama dukung Jokowi-Ma'ruf, PAN-Gerindra sama-sama dukung Prabowo-Sandi, jadi konsisten kalau sama-sama. Pengecualian hanya pada dua kasus koalisi," lanjutnya.
Secara statistik PolMark menemukan kenyataan bahwa suara parpol di daerah tidak sepenuhnya dipegang oleh koalisi nasional. Dengan demikian, Eep menilai wajar jika menjelang Pilpres akan banyak deklarasi yang menunjukkan pendukung partai tertentu atau pimpinan partai tertentu di daerah berbeda dengan kebijakan parpolnya di Pilpres 2019.
"Yang jelas terjadi pada PAN dalam kasus di Riau misalnya, ketua PAN Provinsi Riau juga menyatakan deklarasi dukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Nah penjelasannya kurang lebih ini, karena di Riau misalnya, PAN berkoalisi dengan NasDem dalam Pilkada provinsi dan memang menang," paparnya.
"Koalisinya adalah PAN, Nasdem, PKS, lintas koalisi Pilpres dan memang. Kemudian ketika menang ternyata ketua PAN-nya mendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Kenyataan itu akan dihadapi partai karena itu otonomi politisi di tingkat lokal tidak bisa diabaikan," imbuhnya. (nvl/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini