Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya. Salah satu bentuk penghargaan adalah dengan mengabadikan mereka sebagai nama jalan, museum, gedung, hingga bandara. Tersebutlah Bandara Charles de Gaulle di Paris, Prancis. Nama itu diambil dari Jenderal de Gaulle yang sukses membebaskan kota Paris dari pendudukan Nazi.
Atau Bandara JFK di Kota New York, Amerika Serikat yang mengabadikan nama Presiden termuda, tampan, dan penuh inspirasi tapi tewas secara tragis. Kematian Kennedy di Texas pada 22 November 1963 hingga kini masih menjadi bahan kajian apakah betul Lee Harvey Oswald bekerja sendiri atau merupakan bagian dari konspirasi besar di belakangnya.
Di Turki pun demikian. Pada 1980 pemerintah negeri itu mengganti nama Bandara Internasional Yesilkoy di Istanbul, menjadi Bandara Internasional Ataturk. Nama Ataturk diambil dari Mustafa Kemal Ataturk, pendiri dan presiden pertama Republik Turki.
Sedikit berbeda mungkin di Inggris yang mengabadikan musisi pentolan grup musik legenderis The Beatles, John Lennon. Sejak 2002, Liverpool (Speke) Airport berganti menjadi Liverpool John Lennon Airport. Di Brasil pun mengabadikan musisi jazz yang membidangi lahirnya aliran Bossa Nova, Antonio Carlos Jobim sebagai nama bandaranya. Nama musisi itu melengkapi nama awal Rio de Janeiro Galeo Airport menjadi Galeo Antonio Carlos Jobim International Airport.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sepengetahuan penulis, dari 27 bandara dengan embel-embel internasional tinggal empat yang masih menggunakan nama daerah. Bandara dimaksud adalah Kuala Namu di Sumatera Utara, Minangkabau International Airport (Sumatera Barat), Lombok (NTB), Mopah di Merauke, Papua, dan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kertajati, Majalengka.
Selebihnya menggunakan nama tokoh (pahlawan). Dua bandara terakhir, yakni Mopah dan Kertajati sudah diusulkan diganti dengan nama tokoh setempat, Kris Pasu Gebze dan Abdul Halim. Sejak awal 2016, sejumlah tokoh masyarakat di Merauke menyodorkan nama Kris. Dia adalah tokoh suku Marind yang pertama kali memperjuangkan harkat dan martabat orang asli di daerah tersebut. Sementara Abdul Halim, menurut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan layak dijadikan nama bandara karena merupakan tokoh asal Majalengka dan sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 2009.
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menyatakan tak ada aturan spesifik soal penamaan sebuah bandara. Apakah dinamai sesuai nama daerah atau nama tokoh tertentu. "Setahu saya tidak ada yang mengatur secara spesifik. Saya kira itu cuma kebiasaan saja menggunakan nama pahlawan setempat," ujarnya kepada detik.com.
Penggunaan nama tokoh untuk bandara itu sepertinya dilakukan tidak serta-merta. Dari sejumlah catatan disebut bahwa Bandara Adisutjipto di Yogyakarta, misalnya, semula bernama Maguwo. Ini diambil dari nama lokasi bandara di daerah Maguwoharjo, Sleman. Bandara ini dibangun sejak 1940 dan digunakan digunakan oleh Militaire Luchtvaart pada 1942. Sempat dikuasai Jepang, Maguwo berganti menjadi Adisutjipto pada 17 Agustus 1952. Nama ini diambil dari pilot pesawat pesawat Dakota VT-CLA Marsekal Muda Anumerta Agustinus Adisutjipto yang tewas ditembak jatuh Belanda pada 29 Juli 1947.
Bandara lainnya juga menggunakan nama tokoh setempat, seperti Husen Sastranegara pengganti Andir di Bandung, Tjilik Riwut menggantikan Panarung di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dan lain-lain.
Hanya Bandara di Surabaya yang namanya diambil dari tokoh Sunda, Jawa Barat, Ir Djuanda Kartadijaja. Nama mantan Wakil Perdana Menteri diabadikan oleh Presiden Sukarno pada 12 Agustus 1964. Djuanda dinilai berjasa dalam merintis dan menuntaskan pembangunan bandara tersebut.
Ketika Bandara Lombok diresmikan pada 2011, kota itu belum memiliki tokoh atau pahlawan nasional. Pemerintah baru menetapkan KH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai pahlawan nasional pada November 2017. Dia adalah pendiri Nahdlatul Wathan, ormas Islam terbesar di Lombok, NTB. Lantas pada 5 September lalu Kementerian Perhubungan mengabadikannya sebagai nama bandara, menggantikan Lombok International Airport (LIA).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Jejak SBY di Bandara Lombok |
Anehnya, penggantian nama itu lalu memicu polemik dan prasangka politik dari Partai Demokrat. Mereka meradang dan menuding pemerintahan Jokowi ingin menghilangkan jejak mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Bandara Internasional Lombok adalah salah satu karya pemerintahan @SBYudhoyono, prasasti yang ditandatangani pun masih basah dan diingat rakyat NTB," tulis Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan di Twitter, Rabu (12/9/2018).
TGB menepis ada upaya pencopotan prasasti peresmian Bandara Lombok yang diteken SBY, 20 Oktober 2011. Dia menduga rekan-rekannya di Demokrat mendapatkan informasi yang tak akurat. "Tidak ada yang berniat menghilangkan jejak Pak SBY. Jasa beliau dihargai, sehingga tidak perlu ada yang sensi," katanya.
Tak perlu susah-susah belajar sejarah sebetulnya. Andai para politisi itu sedikit saja rendah hati untuk mengedepankan konfirmasi ketimbang sensi, urusan ganti nama bandara ini tak akan menjadi polemik yang tak perlu.
(jat/jat)