"Jangan sampai hal ini terus melupakan nilai islam yang besar rahmatan lil'alamin menjadi siapapun kaum lemah itu tugas kita seorang muslim melindungi, sekarang bersikap tidak adil itu menjadi catatan kita," ucap Inayah dalam diskusi kasus Meliana di Kekini, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Selain itu, sastrawan Goenawan Mohamad, Hendardi, Inayah Wulandari Wahid (anak Gus Dur), Ken Matahari, Menag Lukman Hakim Saifuddin, aktivis perempuan Natalia Soebagjo, pengamat politik Ray Rangkuti, Toeti Heraty Noerhadi dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid.
Inayah mengatakan Meliana menjalani hukuman karena adanya massa yang marah dan menekan kelompok minoritas. Anak Presiden RI ke 3 Abdurahman Wahid atau Gus Dur itu menilai hukum sudah tidak punya keadilan lantaran Meliana dijatuhi vonis kasus itu.
Baca juga: Pengacara: Meliana Korban Main Hakim Sendiri |
"Hukum sangat tidak adil, massa marah menggunakan undang-undang, pasal yang mendukung kemarahan itu menekan kelompok lain yang berbeda tidak punya suara, bu Meliana bukan korban pertama," jelas dia.
Alasan menjadi jaminan penangguhan, menurut Inayah, pasal penistaan agama bisa digunakan dalam pelaksanaan pemilu 2019. Padalah pasal itu sudah pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Agung oleh Gus Dur.
"Iya karena ini sudah urgent mau pemilu kalau terus menerus ada UU bisa dipakai untuk kemudian legal kesewenang-wenangan satu kelompok terhadap kelompok lain. Kita paham banget Indonesia mau pemilu, ini akan menjadi rentan untuk dipakai kemana-mana, kita mau berapa korban lagi untuk menyatakan pasal itu bermasalah," turur Inayah.
"Dulu Gus Dur mengajukan pasal itu tahun 2012 tapi kemudian ditolak, sekarang untuk mengingatkan lagi aturan itu bermasalah," imbuh dia.
Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumut, menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara kepada Meiliana. Meiliana dinilai melakukan penistaan agama sesuai Pasal 165 KUHP karena mengeluhkan volume azan. Saat ini Meliana sedang mengajukan banding atas vonis itu.
(fai/rvk)