Nasib anak-anak Suku Rimba, tentunya tak seindah anak Indonesia pada umumnya. Anak Rimba, hidup dalam kawasan hutan belantara jauh dari kebisingan kota. Di kawasan hutan di Sorolangun, Provinsi Jambi, di sana Andi Putra menetap bersama anak pamannya.
Bagi Andi dan kelompoknya, sekolah formal merupakan fasilitas negara yang sulit untuk didapatkan. Andaikan diumpamakan sejenis barang, maka sekolah formal adalah benda yang mewah dan sangat berharga. Tersebab, mereka hidup di kawasan hutan yang ada di Jambi.
Para orang tua mereka, di zaman yang sudah modern ini masih hidup nomaden (berpindah-pindah) dengan kelompoknya. Mereka jauh berbeda kondisi sosialnya dengan masyarakat pada umumnya. Segala budaya serta keyakinannya membuat kelompok orang rimba ini menyulitkan mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam komunitas Orang Rimba, menganggap buah-buahan yang ada merupakan milik alam yang boleh diambil oleh siapa saja. Berbeda dengan sosial masyarakat umumnya, siapa pemilik lahan dan yang menanamnya, dialah yang berhak memetik hasilnya.
Begitu perbedaan mencolok antara Orang Rimba dengan masyarakat pada umumnya. Hanya karena mengambil buah petai, ayah Andi harus merenggang nyawa.
Sejak kematian ayahnya, dia diasuh oleh pamannya. Sejak dalam kandungan hingga usianya 8 tahun, Andi juga ikut hidup berpindah-pindah dengan kelompoknya. Belakangan pamannya, bernama Ceriga memilih hidup menetap dengan ikut program pemukiman masyarakat terasing. Sehingga Andi pun akhirnya menetap di perumahan sosial di Desa Pulau Lintang, Kab Sorolangun, Jambi sejak tahun 2016 silam. Sedangkan ibu, kakek dan keluarga lainnya hingga kini masih hidup berpindah-pindah dari satu kawasan hutan ke hutan lainnya.
Sejak menetap, akhirnya bocah Rimba ini ikut dalam pendidikan formal di SD 89/VII, Desa Pulau Lintang, yang saat ini duduk di kelas V. Dia masuk tanpa harus dari kelas satu, namun di kelas dua karena usianya yang saat itu sudah 8 tahun saat awak sekolah.
Sebelum masuk sekolah formal, selama ini dia ikut pendidikan non formal dalam belajar membaca dan berhitung. Jarak sekolah dari rumah pamannya Andi, lumayan jauh dengan jalan tanah di hamparan perkebunan karet warga. Sebab, SD Negeri tersebut berada di pusat desa.
Andi juga harus menyesuaikan dengan anak-anak desa pada umumnya. Harus bersekolah dengan pakaian seragam yang bersih. Di sini, anak itupun harus beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Kalau pergi ke sekolah, harus ada dua baju yang dipersiapkan yakni pakaian biasa dan sekolah. Pakaian biasa dipakai dari rumah, menjelang sampai di sekolah dibuka dan mengenakan seragam.
"Sebab, kalau dari rumah mengenakan seragam sekolah, dikhawatirkan akan kotor. Sebab, jalan yang dilaluinya juga berlumpur saat musim hujan, dan melintasi semak belukar. Termasuk sepatunya juga tidak dipakai dari rumah, nanti kalau sudah di sekolah baru dipakainya," kata Koordinator Program Suku-suku Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Kristiawan kepada detikcom, Senin (23/7/2018).
Walau Andi dari komunitas Orang Rimba, dia pun bisa menunjukan kemampuannya untuk bersaing dengan anak-anak desa. Andi malah pernah meraih juara satu saat diadakan lomba menyanyikan Indonesia Raya dalam acara Jambore Orang Rimba di Kota Bangko, Kab Merangin, Jambi.
"Prestasinya lumayan baik, dia masuk dalam sepuluh besar di kelasnya. Anaknya aktif, suka menggambar, melukis dan mudah menangkap pelajaran," kata guru pendampingnya, Nova Ambar Wati.
Cerita Andi, hanya sepenggal kisah anak-anak Indonesia yang masih hidup di dalam kawasan hutan belantara dengan berbagai keterbatasan fasilitas publik. (cha/asp)