Kabar perceraian itu muncul pada 1925. Jemaah tersebut adalah seorang bupati (regent). Agus Salim menyebutnya sebagai Regent Haji Bintang. Ia memiliki pendidikan Barat dan pengetahuan agama yang luas.
Sedangkan istri yang diceraikannya adalah generasi pertama terpelajar pribumi. Pernikahan keduanya telah dikaruniai seorang anak perempuan.
Sejarawan Taufik Abdullah menuliskan dalam pengantar buku 'Haji Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme' bahwa kisah perceraian ini sempat memantik perdebatan di media massa. Kala itu Salim duduk sebagai redaktur surat kabar Hindia Baroe. Perceraian melalui sepucuk surat itu dianggapnya merendahkan martabat perempuan.
"Pers putih--Belanda--mengejek peristiwa ini, seolah-olah golongan mereka terbebas dari perbuatan yang dianggap melecehkan kedudukan kaum perempuan ini. Haji Agus Salin jengkel dengan sikap pers putih," tulis Taufik.
Pers Belanda mempergunjingkan kebobrokan kehidupan rumah tangga jemaah tersebut. Salim pun membalas dengan menuliskan kebobrokan rumah tangga orang-orang kulit putih di Hindia Belanda.
Bupati itu sendiri juga bersikap menjengkelkan. Sepulang dari haji, ia justru mendatangi redaksi kantor koran putih serta melakukan pembelaan diri dan menjelek-jelekkan mantan istrinya. Salim menyebut haji itu melanggar Islam sejak berangkat hingga pulang haji.
"Dalam niatnya pergi haji itu dilanggarnya Islam. Dan pada waktu melangkah pergi haji dilanggarnya Islam. Dan pada waktu baliknya dari haji dilanggarnya Islam," tulis Taufik.
Baca juga: Bang Ali β M Natsir Berdamai Saat Berhaji |
Sang bupati pun beralasan bahwa ia pergi haji untuk menunaikan rukun Islam kelima. Namun Salim tak menerima alasan ini. Baginya, bupati itu pergi haji untuk memiliki niat menambah pengaruh dirinya.
"Dengan sikap batin seperti ini, berarti niat yang sepertinya murni lillahi ta'ala telah dipengaruhi, dikotori oleh hasrat pamrih. Maka sesungguhnya sang regent, bagi Salim, telah melanggar ajaran Islam," imbuhnya. (ayo/jat)