"Tentu kita apresiasi pertemuan ini, tapi kita tidak perlu larut, tapi kita sudah bisa menyiapkan hal yang mungkin akan terjadi dan bisa diprediksi karena kita juga akan menjadi Dewan Keamanan PBB walaupun anggota tidak tetap," katanya kepada detikcom saat dihubungi, Selasa (12/6/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang masalahnya pada detail dari apa yang disepakati, karena detailnya itu adalah kan ada proses de-nuklirisasi, nah di de-nuklirisasi ini seperti apa nantinya, apakah Amerika harus menarik pasukan mereka yang 35 ribu itu mundur, kita masih belum tahu. Lalu kemudian dari sisi Kore Utara apakah kalau misalnya ada bantuan ekonomi dan sebagainya Amerika Serikat akan mencoba untuk menurunkan rezim yang ada sekarang, karena kalau kita lihat di Timur Tengah kan sering kali AS ada di belakang para pemberontak untuk menurunkan rezim yang sekarang, Muhammad Khadafi, Sadam Husein gitu kan, nah ini kan yang kita masih belum tahu gimana kesepakatan itu," tuturnya.
"Belum lagi kalau misalnya Korea Utara, Kim Jong Un sudah beri angin yang positif tapi ketika kembali ke negaranya berhadapan dengan loyalis dari bapaknya, dari kakeknya, misalnya begitu kan. Artinya ini bisa mandek, nah dalam kaitan seperti itu, ini Indonesia harus melihat, mencermati masalah ini," tambah Hikmahanto.
Baca juga: Kesepakatan Penting Trump-Kim Jong-Un |
"Jadi ketika kita nanti menjadi Dewan Keamanan PBB kan kita bisa mengusulkan berbagai hal, misalnya di de-nuklirisasi itu harus ada dalam pengawasan PBB, dewan keamanan PBB terus melibatkan IAEA lembaga atom dunia, dan kemudain harus AS jangan menang sendiri ke Korut, tapi AS tidak mengurangi pasukannya di semenanjung Korea," paparnya.
Selain itu, Indonesia juga harus bisa memastikan bahwa tidak ada pergantian rezim pasca pertemuan Trump dengan Kim Jong Un.
"Lalu kemudian Indonesia juga harus memastikan bahwa pergantian rezim itu tidak dilakukan oleh tangan-tangan dari luar keterlibatan AS misal terhadap rakyatnya siapa memberontak, nggak boleh itu," jelasnya. (idn/gbr)