KPK Soroti RKUHP: Korupsi Bukan Lagi Kejahatan yang Berbahaya?

KPK Soroti RKUHP: Korupsi Bukan Lagi Kejahatan yang Berbahaya?

Nur Indah Fatmawati - detikNews
Kamis, 31 Mei 2018 16:12 WIB
Ilustrasi (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Jakarta - KPK mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberantasan korupsi. KPK berharap Jokowi mengeluarkan delik korupsi di RUU KUHP, yang justru membahayakan pemberantasan korupsi.

"Presiden pernah beberapa kali mencegah pelemahan terhadap KPK, baik terkait rencana revisi UU KPK yang tidak jadi dilakukan ataupun hal lain. Kami harap, saat ini, ketika pemberantasan korupsi terancam kembali jika RUU KUHP disahkan, Presiden dapat kembali memberikan sikap yang tegas untuk mengeluarkan delik korupsi dari RUU KUHP," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Kamis (31/5/2018).


Dibandingkan memasukkan delik korupsi ke RUU KUHP, menurut KPK lebih baik memperkuat lewat revisi UU Nomor 31 Tahun 1998 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Ditambah pula dengan sejumlah aturan lain seperti pembatasan transaksi tunai, perampasan aset, dan lain-lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KPK telah menyurati Presiden, Ketua Panja RKUHP DPR, serta Kementerian Hukum dan HAM (KemenkumHAM) sebanyak 5 kali. Surat tersebut dikirim pada 14 Desember 2016, 4 Januari 2017, 13 Januari 2017, 24 Mei 2017, dan 13 Februari 2018. Inti dari surat itu pada prinsipnya pernyataan sikap KPK menolak dimasukkannya tindak pidana khusus, termasuk tindak pidana korupsi, ke dalam RKUHP dan meminta agar tindak pidana korupsi seluruhnya tetap diatur dalam UU khusus di luar KUHP.

RKUHP ini rencananya disahkan bulan Agustus 2018. KPK menyayangkan pernyataan yang menganjurkan untuk mengajukan judicial review (uji publik) saja setelah pengesahan itu.

"Karena justru saat ini jika Pemerintah dan DPR bersedia membuka diri untuk tidak memaksakan pengaturan delik korupsi di RUU KUHP, maka risiko pelemahan pemberantasan korupsi tidak perlu terjadi," kata Febri.


Sebagai perbandingan, lanjut Febri, DPR dan Presiden mengesahkan UU Terorisme sebagai undang-undang khusus, dalam menyikapi peristiwa terorisme yang terjadi di beberapa daerah baru-baru ini. Bukannya justru memasukkan aturan tersebut dalam RUU KUHP yang juga memuat delik terorisme.

"Apakah saat ini korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan yang sangat membahayakan negara dan merugikan rakyat?" ucapnya.

Menurut Febri, memasukkan delik korupsi di RUU KUHP akan menempatkannya sebagai kejahatan biasa. Selain itu, ancaman pidana yang lebih rendah dan keringanan hukuman untuk perbuatan percobaan, justru dapat membawa Indonesia berjalan mundur dalam pemberantasan korupsi.

"Konsistensi menyikapi kejahatan-kejahatan serius seperti ini sangat dibutuhkan, khususnya untuk pemberantasan korupsi. Jangan sampai rencana pengesahan RUU KUHP kontra produktif bagi sejumlah upaya perang melawan korupsi, narkoba, dan lain-lain," kata Febri. (nif/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads