Artidjo menjadi hakim agung sejak September 2000 hingga 22 Mei 2018. Jabatan struktural tertingginya adalah Ketua Muda Mahkamah Agung (MA) bidang Pidana. Di luar putusannya, Artidjo merupakan tokoh yang kontroversial. Apa kekurangannya?
Hakim Agung Desnayeti
|
"Pernah satu majelis dengan beliau dalam sidang. Jika kita sepakat, langsung diputuskan. Tetapi kalau tidak sepakat, beliau mempersilakan DO (dissenting opinion). Menurut saya, tindakan itu kurang tepat, karena jika ada perbedaan pendapat, biasanya dikemukakan dulu, kenapa bisa berbeda. Harus dilihat juga berbedanya sudut pandang bagaimana, setelah itu baru diputuskan," kata Desnayeti dalam buku "Artidjo: Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan" halaman 185 yang dikutip detikcom, Rabu (30/5/2018).
Ketua MA Hatta Ali
Hatta Ali (ari/detikcom)
|
"Supaya ia memperbanyak pergaulan. Supaya hidup lepas. Selama ini hanya kantor, kerja, pulang, kerja lagi. Jarang saya melihat dan mendengar dia nonton atau jalan ke mana," kata Ketua MA Hatta Ali memberi masukan yang dituangkan dalam buku 'Artidjo: Sebuah Biografi' karya Puguh Windrawan dalam halaman 210.
Mantan Ketua KY Suparman Marzuki
Suparman Marzuki (ari/detikcom)
|
"Tidak! Pengadilan kita sudah berat dan sangat sulit diperbaiki," kata Artidjo dalam buku 'Artidjo: Sebuah Biografi' karya Puguh Windrawan dalam halaman 129.
Namun seiring waktu, Artidjo berubah arah. Menurut mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki, belakangan Artidjo mengalami akulturasi dengan budaya Mahkamah Agung (MA). Padahal, Suparman merupakan sahabat yang juga sama-sama mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
"Bukan dalam pengertian dia permisif. Bukan ikut korup. Bukan! Tapi dia menjadi orang yang tak rela apabila Mahkamah Agung (MA) diserang. Ada semacam esprit de corps yang terbangun. Menurut saya menjadi kurang proporsional," ujar Suparman yang dituangkan dalam buku 'Artidjo: Sebuah Biografi' karya Puguh Windrawan dalam halaman 224.
Todung Mulya Lubis
Todung Mulya Lubis (ari/detikcom)
|
"Dia itu kurang supel. Menurut saya itu titik lemahnya. Itu bukan saja sesama kolega hakim agung, bukan hanya pada sesama kolega advokat, bukan hanya sesama kolega LBH. Praktik di semua tempat Artidjo itu kaku," kata Todung yang dituangkan dalam buku 'Artidjo: Sebuah Biografi' karya Puguh Windrawan dalam halaman 212.
Todung berharap dengan Artidjo menikah, sikapnya akan berubah. Lebih komunikatif. Tapi ternyata pernikahan tidak membuat dia lebih fleksibel.
"Menurut saya sudah waktunya untuk mengalokasikan jalan ke Australia, misalnya. Jalan ke China, ke Norwegia misalnya. Dan menyaksikan konser piano, konser simponi dan sebagainya. Itu harus mulai dia lakukan. Hidupnya mesti lebih diwarnai oleh kesenian, kebudayaan dan olahraga. Kalau mungkin itu dia lakukan, mungkin dia akan tampil lebih manusiawi," ujar Todung di halaman 213.