Seingat Gayus, masing-masing hakim memberikan hukuman berbeda, dan Artidjo membuat hukuman paling ringan. Tapi saat musyawarah ulang, Artidjo turut dengan putusan hukuman maksimal. "Pak Artidjo ini sosok hakim agung ideal yang tidak melulu memberikan hukuman berat tetapi disamping itu juga rasa keadilan," kata Gayus saat dihubungi detik.com, Selasa (22/5/2018).
Setelah berkarir selama 18 tahun, Artidjo memasuki masa pensiun mulai 21 Mei kemarin karena dia menginjak usia 70 tahun. Artidjo lahir di Situbondo, Jawa Timur pada 22 Mei 1948. Puncak karinya di MA adalah sebagai Ketua Muda MA bidang Pidana, sejak 2014.
Mantan aktivis LBH lulusan North Western University, Chicago ini kerap mendapat sorotan atas berbagai keputusan kasasi yang dibuatnya. Sejumlah politisi yang terlibat korupsi hukumannya cenderung sama dengan tuntutan jaksa, bahkan ada kalanya lebih berat.
Politisi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana, misalnya, mendapat hukuman 12 tahun penjara di tingkat kasasi, lebih berat setahun dari tuntutan jaksa. Sementara vonis Angelina Sondakh yang juga politisi Demokrat, dibuat sesuai dengan tuntutan jaksa,
12 tahun penjara. Di pengadilan Tipikor dan tingkat banding, hakim cuma menghukum mantan Putri Indonesia itu selama 4,5 tahun. Hanya saja majelis Peninjauan Kembali MA mendiskon vonis yang dibuat Artidjo tadi menjadi 10 tahun.
Tentang kesan hukuman berat yang kerap dibuat majelis kasasi, menurut Gayus Lumbuun, sebetulnya tak mutlak milik Artidjo Alkostar. Sebab majelis hakim lazimnya terdiri dari tiga orang, dan masing-masing biasa punya pendapat yang independen. "Jadi biasa saja dalam majelis itu perbedaan pendapat sampai harus ada dissenting opinion (pendapat berbeda). Putusan berat itu milik majelis dan tergantung posisi," ungkapnya.
(ayo/jat)