"Sepanjang Kemenkum HAM melakukannya terbuka dan tidak membebankan biaya, bukan tidak mungkin publik akan lebih menyukai pilihan penyelesaian konflik peraturan di Kemenkum HAM," kata Direktur Pusako Universitas Andalas Feri Amsari kepada detikcom, Jumat (13/4/2018).
Selama ini, pemangkasan aturan dilakukan lewat jalur judicial review di Mahkamah Agung (MA). Tapi jalur itu berliku dan sangat lama. Bahkan MA akan menaikkan biaya perkara dari Rp 1 juta menjadi Rp 5 juta sehingga orang miskin tidak bisa menggugat aturan yang zalim. Karena itu, judicial review yang digagas oleh Kemenkum HAM dinilai bisa efektif.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ini ruang baru untuk menyelesaikan konflik peraturan perundang-undangan di luar jalur peradilanFeri Amsari, Direktur Pusako Unand |
Menurut Feri, mekanisme ini merupakan bagian dari semangat alternative dispute resolution (cara alternatif menyelesaikan masalah) yang memperlihatkan semangat mediasi. Pihak-pihak diharapkan mau membenahi regulasinya yang bermasalah dengan pola itu atas kesadaran sendiri.
"Jika tidak pun, melalui presiden, pihak-pihak yang membandel bisa ditegur bahkan dipaksa mengubah peraturannya yang bermasalah. Tentu upaya ini jauh lebih menarik dan persuasif, apalagi jika tidak dipungut biaya maka pilihan ke Kemenkum HAM bisa jadi pilihan terbaik," cetus Feri.
Sidang judicial review ala Kemenkum HAM itu tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkum HAM) Nomor 32 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Perundang-undangan Melalui Jalur Nonlitigasi. Yang bisa digugat ke Kemenkum adalah peraturan eksekutif di bawah UU, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, surat edaran menteri, perda, pergub, hingga peraturan di tingkat desa. (asp/rvk)