"Polri menghormati hukum," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (9/4/2018).
Iqbal menerangkan setiap orang punya hak menguji proses hukum yang dilakukan kepolisian.
"Masyarakat mana pun mempunyai hak untuk men-challenge proses penyelidikan maupun penyidikan yang polisi lakukan. Ini adalah negara hukum. Ya silakan saja," sambungnya.
Dalam sidang pertama gugatan praperadilan, pihak pemohon menyatakan penyitaan yacht tidak sah. Kuasa hukum Equanimity, Andi F Simangungsong, memaparkan di dokumen penyitaan, yacht disita terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan tindak pidana asal pidana korupsi di Malaysia dan dugaan TPPU yang terjadi di AS.
Bareskrim disebut pemohon dalam pemberitaan juga menyatakan penyitaan dilatarbelakangi adanya permintaan dari otoritas AS sehubungan diterbitkannya surat perintah penyitaan atas objek sita dari pengadilan di AS.
Hal ini, menurut tim kuasa hukum, bertentangan dengan UU Nomor 1/2006. Merujuk pada UU tersebut, kuasa hukum pemohon menyebut syarat yang wajib dipenuhi dalam memberikan bantuan untuk melakukan penyitaan.
Syarat yang terkait dengan penyitaan yacht yang tak terpenuhi, menurut kuasa hukum, adalah adanya kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan pidana di AS dan adanya permintaan tertulis dari pemerintah AS kepada pemerintah Indonesia, termasuk permohonan sita ke pengadilan harus diajukan Kapolri atau Jaksa Agung.
Yacht diamankan Bareskrim Polri di Tanjong Benoa, Bali, pada Rabu (28/2), atas permintaan FBI. Kapal senilai Rp 3,5 triliun itu memasuki wilayah Indonesia sejak November 2017 dengan berlayar ke Sorong, Raja Ampat, NTB, NTT, Bali, dan Maluku. Sang nakhoda yang bernama Kapten Rolf juga dengan sengaja mematikan sistem navigasi untuk menghindari pengejaran FBI.
Kapal yang terdaftar di Kepulauan Cayman ini diduga hasil pencucian uang kasus korupsi 1 Malaysian Development Berhad (1MDB) oleh pengusaha Jho Low. (aud/fdn)