Mereka tidak punya pilihan lain, lantaran satu-satunya akses yang bisa mereka lalui, hanya di sungai itu saja. Saat hujan deras dan membuat sungai meluap, mereka terpaksa meliburkan diri karena sungai itu tidak bisa diarungi lagi. Tak hanya mereka, ratusan warga pun ikut terisolir.
Mirisnya, kondisi ini sudah dialami warga sejak dulu. Namun, tidak pernah mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Jembatan yang telah dibuat tahun 2015 lalu juga tidak kunjung rampung hingga saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kondisi ini sudah sejak awal adanya kampung kami di sini. Setiap hari, baik warga maupun anak sekolah bertaruh nyawa menyeberang sungai ini. Kita tida punya pilihan lain, karena ini satu-satunya jalan," kata seorang warga, Abdullah saat ditemui, Minggu (8/4/2018).
Beberapa tahun lalu, seorang ibu yang membawa dua anaknya menyeberang sungai itu, hanyut dan semua ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Tak hanya itu, seorang warga yang meninggal dunia tidak disalatkan karena tidak satupun pemuka agama yang datang karena kondisi air deras.
"Kami juga heran kenapa jembatan itu tidak kunjung dirampungkan, padahal sungai ini sudah menelan korban. Penderitaan warga di seberang sungai sangat berat karena kadang mereka terisolir kalau airnya tinggi," lanjutnya.
Saat detikcom berkunjung ke lokasi itu, siswa yang baru saja pulang dari sekolahnya menyeberang sungai dengan menggunakan ban yang ditarik oleh siswa lainnya. Itupun hanya ada satu-satunya ban, sehingga siswa itu harus bolak-balik menjemput.
Ban itu hanya boleh dinaiki oleh siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan juga pelajar perempuan. Siswa lainnya, berenang sambil membawa tas mereka dengan menggunakan satu tangan. Bahkan, beberapa dari mereka pun terseret arus hingga beberapa meter dari tempat awal mereka berenang.
"Ban ini dinaiki untuk anak SD sama anak perempuan saja, karena kita takut mereka terseret. Mereka semua bisa berenang. Tapi airnya memang deras dan dalam, jadi kita gunakan ban sebagai bantuan," kata seorang siswa SMP kelas 2, Iskandar.
Bagi mereka, rasa takut saat bertaruh nyawa menyeberangi sungai itu adalah bagian dari perjuangan meraih cita-cita. Iskandar yang bercita-cita menjadi guru bermaksud membuka sekolah di kampungnya agar hal yang ia alami saat ini tidak lagi dirasakan oleh anak-anak lain.
"Saya mau jadi guru, biar nanti saya buka sekolah di kampung saya. Saya tidak mau melihat lagi anak-anak nantinya seperti kami ini. Kalau dibilang takut, pasti adalah. Tapi harus bagaimana lagi. Ini kita anggap satu perjuangan," sungkapnya.
Saat ini, baik siswa maupun warga, sangat berharap jembatan itu segera dirampungkan. Jembatan itu merupakan satu-satunya harapan mereka untuk melanjutkan kehidupan mereka yang lebih baik. Pasalnya, tak jarang hasil pertanian dan kebun mereka tidak bisa dijual karena tidak ada akses.
Yuk, ikut berdonasi membangun jembatan masa depan bagi anak-anak dusun Damma, Desa Bonto Matinggi, Sulsel. Sehingga mereka tak perlu lagi bertaruh nyawa dengan menyeberangi sungai deras ketika ingin berangkat ke sekolah.
(nkn/nkn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini