"Memang kalau saya lihat ini ada khilaf dari terdakwa karena sebelumnya melaksanakan kegiatan dengan baik dengan yang bersangkutan hingga terjadilah OTT ini," kata Budi saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus suap terkait proyek di Ditjen Hubla dengan terdakwa Tonny di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (28/3/2018).
"Jujur saya prihatin dan ini terjadi sebelum masa saya. Sepertinya saya tidak mentolerir kegiatan seperti ini," sambung Budi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tonny merupakan mantan Dirjen Perhubungan Laut (Hubla). Dalam surat dakwaan, Tonny disebut menerima suap Rp 2,3 miliar serta gratifikasi hingga Rp 20 miliar. Budi kemudian ditanya hakim soal larangan penerimaan suap di Kemenhub.
"Di kalangan pegawai ada larangan menerima hadiah tapi di Semarang, Samarinda, Pulang Pisau apakah tidak ada uang operasional?" tanya hakim.
"Kita melarang, karena pada dasarnya semua kegiatan itu sudah ada. Jadi tidak ada menyebut untuk uang operasional. Pada dasarnya tiap unit itu sudah dianggarkan operasional," jawab Budi.
"Dari apa yang kita lakukan dirjen, direktur ada anggaran operasional, ada tunjangan operasional, tender, untuk rapat, jadi menurut saya anggaran-anggaran itu tidak perlu diambil dari pihak lain," imbuh Budi.
Suap yang diterima Tonny disebut berkaitan dengan proyek pengerukan di beberapa pelabuhan. Namun, Budi mengaku tidak tahu tentang proyek itu lantaran nilainya di bawah Rp 100 miliar.
Baca juga: Menhub Jadi Saksi di Sidang Eks Dirjen Hubla |
"Pengerukan itu kalau di bawah Rp 100 miliar itu kewenangan terdakwa, kalau di atas Rp 100 miliar itu baru kewenangan saya. Secara khusus yang di bawah Rp 100 miliar itu konsolidasi saja," kata Budi.
Dalam perkara ini, Tonny didakwa menerima suap Rp 2,3 miliar. Duit suap itu berkaitan dengan sejumlah proyek.
Suap itu diberikan oleh Adi Putra Kurniawan (mantan Komisaris PT Adhiguna Keruktama), yang telah disidang sebelumnya. Duit itu berkaitan dengan proyek pekerjaan pengerukan alur Pelabuhan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada 2016 dan pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Samarinda, Kalimantan Timur, pada 2016. Selain itu, ada sejumlah proyek lainnya yang berkaitan dengan suap itu.
Uang suap itu diberikan melalui kartu ATM. Adi Putra disebut memiliki banyak kartu ATM untuk kepentingan suap tersebut, tetapi dengan nama lain.
(ams/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini