Program ini berkonsep dari rakyat untuk rakyat. Sehingga melibatkan langsung masyarakat dalam pendanaan kampanye pasangan nomor urut 3 tersebut di Pilkada Sulsel. Program fundraising tidak menerima uang secara tunai agar pelaporan keuangan lebih transparan
Nurdin Abdullah tampak menyaksikan cara transfer dana untuk dukungan kepadanya (Foto: Reinhard Soplantila/detikcom) |
"Tidak terima tunai, melainkan melalui transfer dan gesek tanpa menentukan nominal. Ini lebih clear karena jelas uang masuk dan keluar kan terdaftar. Tidak dilihat nilainya, tapi partisipasi masyarakat," ujar Nurdin Abdullah, usai peluncuran program di Hotel Aston Makassar, Minggu (11/3/2018) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Warga di luar Sulsel, bahkan bukan orang Sulsel pun juga menyumbang. Untuk digunakan apa? Yah apa saja, yang penting dipertanggungjawabkan. Kan jelas, KPU sudah membatasi dana dari perseorangan itu di bawah Rp 75 juta," lanjutnya.
Nurdin mengatakan langkah ini diambil demi menekan ongkos politik yang cukup tinggi selama kampanye. Faktor ongkos politik yang tinggi, kata dia, menjadi salah satu faktor perusak kepala daerah saat terpilih nanti.
Menurutnya, ongkos politik yang tinggi jadi faktor perusak pemimpin daerah ketika sudah terpilih dan menjabat (Foto: Reinhard Soplantila/detikcom) |
"Saya kira pilkada langsung ini diharapkan low cost, harus low cost. Karena pemerintah belum bisa memberikan kesejahteraan untuk pemimpin daerah yang baik, karena keterbatasan anggaran negara. Oleh karena itu tentu pemimpin yang lahir nanti harusnya low cost," kata pria yang dijuluki Sang Profesor itu.
Rencananya, program fundraising #untuksulseljaya Prof Andalan ini terus dibuka hingga selesainya pilkada serentak mendatang. Diketahui, sejak dibuka, sudah sekitar Rp 300 juta bantuan dana kampanye yang masuk untuk pasangan Nurdin Abdullah-Andi Sudirman Sulaiman ini. (jbr/jbr)












































Nurdin Abdullah tampak menyaksikan cara transfer dana untuk dukungan kepadanya (Foto: Reinhard Soplantila/detikcom)
Menurutnya, ongkos politik yang tinggi jadi faktor perusak pemimpin daerah ketika sudah terpilih dan menjabat (Foto: Reinhard Soplantila/detikcom)