"Prinsip kami, melarang atau mewajibkan (cadar) sama-sama problematis, karena itu menyangkal otonomi dari perempuan terhadap tubuhnya," kata komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Kharirah Ali, kepada detikcom, Selasa (6/3/2018).
Kharirah Ali kebetulan merupakan alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Dia cukup intens memantau polemik ini di grup-grup internal alumninya. Meski begitu, Komnas Perempuan tak akan buru-buru menjatuhkan 'vonis' soal polemik ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komnas Perempuan akan mengecek perkara pelarangan mahasiswi untuk bercadar ini kepada pihak UIN Sunan Kalijaga. Mereka akan mencoba mendengarkan keterangan-keterangan itu dengan cara elegan, bukan lewat mekanisme layangan surat panggilan, karena banyak pihak di UIN adalah mitra Komnas Perempuan sehingga mudah diajak komunikasi.
"Besok (7/3) akan ada beberapa peneliti dari UIN yang akan ke Komnas Perempuan. Beberapa dosen di UIN juga teman kita," ujarnya.
UIN dinilainya sebagai kampus yang mencoba mengembangkan Islam yang moderat (mengambil spektrum di tengah, tidak ekstrem ke salah satu sudut). UIN, menurut Kharirah, juga menyimpan kekhawatiran soal berkembangnya kelompok radikal yang menentang ideologi Pancasila dan cenderung ingin mendirikan khilafah.
"Saya kira kegelisahan UIN untuk menangkal, mencegah, paham radikal di kampus, itu legitimate (sah)," kata lulusan Universitas Ohio Amerika Serikat ini.
Namun, bila menyetujui pelarangan cadar demi menghalau paham ekstremisme, itu sama saja dengan mengidentikkan cadar dengan ekstremisme. Pemahaman seperti ini rawan masuk ke jurang islamofobia.
"Tidak semua orang yang bercadar itu memiliki ideologi radikal. Bahkan sejak film 'Ayat-ayat Cinta', cadar malah jadi tren fashion," kata dia.
Baca juga: Polemik Cadar di Kota Pelajar |
Kharirah, yang juga pernah menempuh studi Islam, menyimpulkan cadar bukanlah ajaran agama Islam, melainkan tradisi Timur Tengah. Namun, dari perspektif hak asasi manusia, tak ada satu pihak pun yang boleh melarang pemakaian busana. Perempuan punya hak menentukan pilihannya.
"Dari perspektif hak asasi manusia, tentu saja posisi kita sangat jelas. Negara, institusi pendidikan, atau institusi apa pun tidak boleh mendikte tubuh perempuan. Bercadar atau tidak bercadar, itu betul-betul pilihan pribadi dan hak otonom perempuan," tegasnya.
Larangan mengenakan cadar ini menjadi polemik setelah munculnya foto 30 mahasiswi bercadar yang membawa spanduk tertentu. Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi kemudian menerbitkan surat pada 20 Februari 2018 yang memerintahkan agar ada pendataan terhadap mahasiswi bercadar.
Dibentuk pula tim konseling untuk mahasiswi bercadar. Bila mahasiswi bercadar itu tetap ngeyel, mereka diminta undur diri dari Kampus. Yudian Wahyudi juga menilai cadar bisa menjadi alat kecurangan saat ujian. (dnu/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini