Salah satu peserta Pemilu 2019, Partai Solidaritas Indonesia, banyak disebut sebagai partainya kaum milenial. Selain karena pengurusnya banyak dari kalangan anak muda, mereka menggunakan 'Bro' dan 'Sis' untuk menggantikan 'Bapak' dan 'Ibu' dalam bertegur sapa.
Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengumumkan nama Joko Widodo sebagai calon presiden melalui media sosial Twitter pada 23 Februari lalu.
Baca juga: Gambar Tokoh Besar Tak Pengaruhi Elektabilitas Kepala Daerah
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai apa yang ditempuh kedua partai tersebut merupakan bagian dari upaya menggaet pemilih milenial alias pemilih 'zaman now'. Merunut pada Pew Research Center (2010), pemilih milenial adalah yang lahir pada 1981-1999. Badan Pusat Statistik memperkirakan jumlah pemilih milenial pada Pilkada 2018 sekitar 35 juta.
Memang belum ada survei yang menguatkan bahwa dengan merebut pemilih milenial, partai politik akan memenangi Pemilu 2019, tapi investasi terhadap mereka harus dilakukan sejak dini.
"Investasi terhadap generasi milenial harus segera dilakukan. Itu akan menjadi kekuatan determinan di pilpres nanti. Karena itu, orientasi politik mereka perlu dibentuk dari sekarang," kata Wasisto saat berbincang dengan detikcom, Selasa (27/2/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kampanye di Medsos Lebih Murah, Gambar Tokoh Tak Laku
Karakter generasi milenial, dia melanjutkan, adalah ekspresif, melek politik, tetapi labil dalam hal idealisme. Mereka menganggap dunia politik kaku, koruptif, dan konotatif. Menjadi tantangan partai untuk mengubah paradigma tersebut.
Karena itu, elite partai politik merasa perlu mengkonstruksikan pemikiran mereka agar sesuai dengan tujuan kemenangan partai. Caranya adalah membangun ikatan, chemistry, agar generasi milenial ini tidak alergi terhadap politik.
"Publik yang didominasi kelas menengah tidak menyukai ideologi yang sifatnya normatif. Mereka butuh kemasan politik yang nyata ditunjukkan, salah satunya dengan mengekspresikan politik dengan keinginan sekarang. Misalnya ada 'salam metal', DPP jadi basecamp, 'Bro-Sis' untuk mengganti (sapaan) 'Bapak-Ibu'," kata Wasisto.
Baca juga: Bisa Jadi Penentu Kemenangan, Pemilih Zaman Now Jadi Rebutan
Untuk mendapatkan perhatian 'kids zaman now', Wasisto menyarankan partai politik lebih kreatif dalam berkomunikasi. Bila tidak, parpol tidak akan dilirik dan perolehan suara mereka akan terus berkurang dalam pemilu.
Baca juga: Membaca Pilihan Capres dan Politik Generasi Milenial
Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez mengatakan salah satu alasan generasi milenial layak diperebutkan dalam Pemilu 2019 adalah akses mereka ke media sosial yang luas. Data CSIS mencatat ada 15-20 persen pemilih milenial (berusia 17-34 tahun). Survei CSIS pada Agustus 2017 menyebutkan 81,7% dari mereka adalah pengguna Facebook, 70,3% pengguna WhatsApp, dan 54,7% pemilik akun Instagram.
"Ini tentu menjadi market baru pemilih. Apalagi sekarang ini penetrasi internet terus meningkat," kata Arya.
(erd/jat)