Larangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggunakan gambar tokoh seperti Bung Karno, Soeharto, dan Gus Dur dalam kampanye mendapat apresiasi dari pengamat politik. Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez menilai efek dari gambar tokoh-tokoh tersebut untuk menggaet pemilih generasi milenial sulit diukur.
"Memang selama ini belum ada survei terkait hal tersebut. Namun ada fakta bahwa, generasi milenial itu tidak hidup di masa tokoh-tokoh tersebut," kata Arya saat berbincang dengan detikcom, Selasa (27/2/2018).
Baca juga: Membaca Pilihan Capres dan Politik Generasi Milenial
Tingkat kesulitan yang dihadapi generasi kidz zaman now pun berbeda. Generasi sekarang, kata dia, dihadapkan pada kesulitan untuk mendapatkan properti dan akses ekonomi. Sehingga hal-hal semacam itu akan ikut mempengaruhi pilihan politik mereka.
"Kalau tokoh-tokoh itu saya kira tidak terlalu efektif bagi generasi milenal bahkan mungkin mereka tidak kenal," kata Arya.
Baca juga: Bisa Jadi Penentu Kemenangan, Pemilih Zaman Now Jadi Rebutan
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arya memperkirakan, kampanye di era generasi milenial, akan lebih murah ketimbang era sebelumnya. Sekarang ini dengan penetrasi internet yang terus membaik kampanye bisa dilakukan melalui media sosial seperti Twitter, Facebook, Youtube, dan Instagram.
"Kampanye di pemilihan era milenial itu tidak susah-susah amat, lebih gampang dan murah karena mereka (generasi milenial) terkoneksi ke media sosial, online," katanya.
Baca juga: Partai Tak Kreatif akan Ditinggal Pemilih Milenial
Saat ini hampir semua partai politik memiliki tim dunia digital untuk merancang strategi kampanye di media sosial. Mereka memiliki tim cyber dan akun sosial khusus. Bahkan tak jarang ada partai yang sengaja menggelar pertemuan tingkat nasional untuk membahas kampanye di era serba digital sekarang ini. "Beberapa partai tidak ragu membayar buzzer untuk menggaet pemilih milenial," papar Arya.
Wasisto tak sepenuhnya sependapat. Sebab dalam penilaiannya kampanye di media sosial untuk menggaet generasi milenial sejatinya masih mencari pola. Karena itu meski generasi milenial ini aktif di media sosial, tetapi kampanye dengan cara tatap muka tetap diperlukan.
"Generasi milenial ini generasi yang ingin didengar, sehingga antara kandidat dan pemilih harus duduk setara. Di masa-masa berikutnya kampanye partisipatif akan menjadi role model," kata Wasisto.
(erd/jat)