"IPK yang stagnan sepatutnya dapat menjadi pelajaran bagi seluruh pihak terkait yang seharusnya berkontribusi," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dimintai konfirmasi, Jumat (23/2/2018).
IPK ini diketahui dari rilis Transparency International Indonesia (TII). Nilai IPK sendiri ditentukan dari 9 sumber data. Dua di antaranya diketahui menjadi sumber penurunan angka IPK itu, antara lain World Justice Project (WJP) dan Political & Economic Risk Consultancy (PERC).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal itu, Febri menyebut konsistensi penegakan hukum lebih dibutuhkan agar dapat membangun kepercayaan bahwa hukum memang menjadi tolok ukur penanganan perkara. Bukannya faktor lain, apalagi suap terhadap penegak hukum. Sedangkan di sektor politik, ada banyak yang harus dikerjakan.
"KPK sudah memproses lebih dari 144 pelaku korupsi dari DPR, DPRD, dan DPD dan lebih dari 90 kepala daerah. Keinginan berbenah di sektor politik ini tentu sangat penting dilakukan. Jika tidak sulit rasanya IPK bisa meningkat," kata Febri.
Faktor penyebab stagnannya IPK ini, lanjut Febri, perlu dibaca secara cermat untuk menghindari kesalahpahaman. Menurutnya, keliru jika ada pihak mengatakan IPK hanya tanggung jawab KPK.
"Karena ada pihak-pihak yang mengatakan IPK hanya tanggung jawab KPK. Itu keliru," tuturnya.
"Apa yang dilakukan KPK itu mestinya diikuti dengan perubahan dan komitmen untuk memperbaiki diri dari institusi masing-masing," imbuh dia.
IPK Indonesia dalam 5 tahun terakhir bergerak dari angka 32 pada 2013, angka 34 pada 2014, angka 36 pada 2015, serta angka 37 pada 2016 dan 2017. Di angka ini juga, ada beberapa negara lain, yaitu Brasil, Kolumbia, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia. Angka itu menunjukkan Indonesia masih perlu berusaha keras untuk perjuangan memberantas korupsi. Namun nilai indeks korupsi Indonesia kalah oleh Timor Leste, yang angkanya 38.
"Hal ini menunjukkan stagnasi upaya berbagai pihak, khususnya pemerintah, kalangan politisi dan pebisnis, dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia," ungkap peneliti TII Wawan Suyatmiko di Hotel Sari Pan Pasific, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (22/2). (nif/rvk)