Pengamat: Kelola Parpol Tak Cukup Nama Besar

Pengamat: Kelola Parpol Tak Cukup Nama Besar

Aryo Bhawono - detikNews
Senin, 19 Feb 2018 13:13 WIB
Ketua Umum PKPI, AM Hendropriyono. (Foto: Ibnu-detikcom)
Jakarta - Dalam politik, nama besar saja tidaklah cukup. Jenderal AM Hendropriyono dan Prof Yusril Ihza Mahendra, mengindikasikan hal itu. Partai yang mereka pimpin, PKPI dan PBB tak lolos verifikasi faktual sehingga gagal menjadi peserta pemilu 2019. Kedua partai yang tergolong anak kandung reformasi ini kalah dari empat partai pendatang baru yang salah satunya dikelola anak-anak muda, PSI.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lili Romli menyatakan saat ini partai politik tidak hanya cukup membawa nama besar pemimpinnya tapi juga harus membangun basis pengurus yang disyaratkan.

Sedangkan PBB (Partai Bulang Bintang) dari pengamatan Lili, sepertinya cuma mengandalkan Yusril yang belakangan ini kerap tampil di publik sebagai sebagai lawyer. Sementara mantan Kepala BIN Jenderal AM Hendropriyono sebagai pentolan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) sangat jarang sekali muncul di publik.

"Kalau dari publikasi paling PBB terdengar kalau Yusril berperkara, kalau PKPI jika ada konflik saja. Selain itu tidak ada publikasi kedua parpol itu," ujar Lili.

Selain itu, rekam jejak kedua partai juga trennya terus memudar. Pada 1999, PBB meraih 13 kursi di DPR dan 11 kursi pada Pemilu 2004, tapi pada 2009 gagal ke Senayang karena terhalang ambang batas parlemen. Suara sebesar 1,8 juta yang mereka raup tak dapat memenuhi 2,5 persen ambat batas.

Sedangkan PKPI yang dibentuk setelah Jenderal Edi Sudrajat kalah bersaing dengan Akbar Tanjung memperebutkan Golkar, pada 1999 cuma meraup 1,01 persen suara. Kala itu mereka masih bernama PKP (Partai Keadilan dan Persatuan) dan berubah nama menjadi PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) agar bisa mengikuti Pemilu 2004.

Pada 2004, suara yang didapat cuma 1,3 persen suara dan memperoleh satu kursi dari 550 anggota DPR. Pada 2009, partai ini tidak memenuhi PT 2,5 suara.

Pada 2014 lalu, kedua partai ini nyaris tak dapat mengikuti Pemilu. Mereka mengajukan sidang ajudikasi Bawaslu dan dimenangkan. Tapi hasil pemilu tak memberi makna signifikan. Suara mereka tak cukup untuk masuk DPR dan menjadi partai satu koma.

"Sejak lahir mereka terseok-seok. Beberapa daerah mereka memiliki wakil di DPRD tetapi perhitungan nasional mereka tak lolos," ungkap Lili.

Lili menyebut ada tiga hal yang menyebabkan mereka kini kian terpuruk, yakni kadernya pindah partai, semangat yang meluntur, dan sumberdaya tak lagi memadai untuk memenuhi persyaratan administratif.

Apalagi saat ini mereka harus bersaing dengan partai-partai baru yang memiliki basis dan sumberdaya lebih kuat. Seperti PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang menyasar politisi muda, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang dimiliki salah satu raja media Harry Tanoesoedibjo, serta Partai Berkarya yang didirikan anak mantan Presiden Soeharto, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda). Partai-partai baru ini selain memiliki sumber dana cukup kuat, juga kreatif dalam menggalang dana publik.

(ayo/jat)




Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads