Nikahi Janda Belanda, Dokter Abdul Rivai Dicerai Karena 'Kafir'

Kisah Cinta Beda Agama Founding Fathers

Nikahi Janda Belanda, Dokter Abdul Rivai Dicerai Karena 'Kafir'

Aryo Bhawono - detikNews
Kamis, 15 Feb 2018 16:49 WIB
Ilustrasi Abdul Rivai (foto diolah)
Jakarta - Abdul Rivai adalah orang Hindia Belanda penjelajah Eropa untuk belajar kedokteran sekaligus menjadi wartawan. Keberangkatannya ke Belanda diawali kisah tragis. Ia dipaksa bercerai dengan istrinya, seorang janda keturunan Belanda, karena mertuanya menganggap Rivai kafir.

Rivai adalah dokter lulusan STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen/Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) pada 1894 yang ditugaskan di Deli, Sumatera. Ia memiliki cita-cita melanjutkan pendidikan di Belanda. Ia pun mengumpulkan uang tambahan dengan bekerja sambilan menjadi penerjemah dan wartawan sekaligus mengikuti kursus bahasa Belanda.

Harry A. Poeze, Cornelis Dijk, dan Inge van der Meulen menuliskan dalam 'Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950'. Ia menikah dengan seorang janda Belanda. Tapi pernikahan ini tak mulus. Mertuanya menganggap Rivai kafir dan memutuskan perkawinan itu. Tapi buku itu tak menyebut nama janda tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat pernikahan, hubungannya dengan pemerintah Belanda sedang tak baik. Ia tengah bersengketa lalu meninggalkan Deli dan pergi ke Belanda tanpa memenuhi tuntutan pemerintah atas kontrak yang ditekennya semenjak bersekolah di STOVIA.

Rivai pun menuntut ilmu di bawah guru besar Universitas Utrecht, Prof Eykmen. Pemerintah memberikan syarat agar ia lulus gimnasium supaya masuk perguruan tinggi itu. Tes ini berhasil ia tempuh setelah mengikuti beragam les privat di Amsterdam.

Aktivitas jurnalistik ia jalankan sembari sekolah kedokteran. Ia menerbitkan Pewarta Wolanda pada 1900 di Amsterdam. Tulisan-tulisan berbahasa Melayu itu banyak mengabarkan tentang pentingnya ilmu pengetahuan bagi pribumi Hindia Belanda.

Pada 1901, ia pulang ke Indonesia dan meleburkan medianya dengan Soerat Chabar Soldado milik seorang mantan serdadu Belanda, Henri Constant Claude Clockener Brousson. Keduanya menerbitkan Bandera Wolanda, yang berumur pendek dan ditinggalkan mereka. Matinya Bandera Wolanda ini karena artikel berjudul 'Agama Protestan dan Islam' yang ditulis Brousson menyulut kontroversi.

Kegagalan ini tak membuat Rivai putus asa. Ia terus menelurkan idenya mengajak pribumi Hindia Belanda belajar ke Belanda melalui surat kabar Bintang Hindia pada 1902. Koran ini dibiayai pemerintah Belanda sendiri karena lobi Rivai atas kenalannya.

Ia menyuarakan kemajuan moral dan sosial. Gagasan Rivai ini meraih simpati dari kalangan pergerakan berbagai istilah ia populerkan, seperti 'kemadjoean, kaum muda, dan bangsa Hindia'. Rivai pun memperoleh tempat di kalangan pergerakan selama mengelola koran ini.

Ia menerbitkan buku kesehatan mata berjudul 'Nasihat Dokter: Memiara Mata pada 1905'. Artikel kesehatan pun urut ia tulis. Rivai adalah orang yang menyarankan pentingnya kebersihan umum, menggunakan alas kaki, dan bahaya bir serta merokok bagi anak-anak.

Pada 1906, ia tinggal di Paris sepanjang tahun dan belajar di Institute Pasteur. Pendidikan ini ia lanjutkan dengan menempuh ujian doktoral dan mengikuti kuliah semi-arts. Gelar doktoral ini ia peroleh dari Belgia tanpa disertasi melalui Universitas Gents di Delgia. Di sana doktoral dapat diperoleh dengan ujian terbuka.

"Tuan Rivai telah diuji di depan umum sesuai dengan ketentuan undang-undang. Fakultas menentukan ia telah menempuh ujian dengan cara memuaskan. Karena sidang bersifat umum maka hasilnya pun terbuka untuk umum," tulis buku itu.

Pada 1910, Rivai pulang ke Indonesia sebagai perwira kesehatan KNIL. Ia membawa serta seorang perempuan Inggris yang menjadi istrinya. Perkawinannya kali ini pun dilakukan beda agama dan hidup bersama di tempat tugas Rivai di Cimahi, Bandung.

Nama Rivai cukup terkenal bagi kalangan jurnalis ataupun politik pergerakan. Buku 'Student Indonesia', yang merupakan kumpulan tulisan Rivai, sendiri menyebutkan, selama di Belanda, ia berhubungan aktif dengan semua pelajar Indonesia. Ia membantu mereka menjalani hidup, bahkan mewanti-wanti agar menjaga sikap jika mau mencapai cita-cita pendidikan di Belanda.

Beberapa kalangan bangsawan di Indonesia yang mengalami kesulitan ia bantu. Bahkan rekan-rekan pelajar Indonesia ia ajak gotong royong untuk membantu keuangan pelajar yang kesulitan uang.

Adinegoro dalam Pewarta Deli menyebut Rivai sebagai Bapa dalam golongan jurnalistik. Rivai meninggal di Bandung pada 16 Oktober 1933. (jat/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads