"Menuntut majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini menyatakan terdakwa Ali Sadli terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata jaksa pada KPK saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018).
"Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama terdakwa menjalani masa tahanan dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan," sambung jaksa pada KPK.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa pada KPK juga menyatakan Ali wajib membayar uang pengganti Rp 325 juta subsider 1 tahun penjara. Uang pengganti ini terkait dengan pemberian uang kepada dua wanita yang pernah dihadirkan sebagai saksi di persidangan, yaitu Dwi Futhiayuni dan Selly Okilia.
"Sebagian uang tersebut diberikan kepada dua perempuan yang tidak lama terdakwa kenal atas nama saksi Dwi Futhiayuni sebesar Rp 85 juta dan saksi Selly Okilia sebesar Rp 200 juta dan biaya umrah sebesar Rp 40 juta sehingga sudah selayaknya terdakwa agar dijatuhi pidana untuk membayar uang pengganti," kata jaksa.
Jaksa menyatakan Ali terbukti bersama-sama dengan Rochmadi menerima duit suap Rp 240 juta dari Kemendes PDTT terkait pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Duit suap itu diterima dari Irjen Kemendes PDTT Sugito melalui Kepala Bagian TU dan Keuangan Inspektorat Kemendes Jarot Budi Prabowo.
Tak hanya itu, jaksa meyakini Ali menerima gratifikasi uang Rp 9.896.180.000 (sebelumnya dalam dakwaan senilai Rp 10,5 miliar, USD 80 ribu). Padahal pendapatan sah yang bisa dibuktikan terdakwa Ali sejak 2015 hingga Maret 2017 hanya senilai Rp 1.728.656.000.
"Bahwa di persidangan diperoleh fakta bahwa ternyata terdakwa tidak ada penghasilan lain di luar sebagai PNS BPK RI kecuali usaha-usaha angkot sebesar Rp 96 juta per tahun dan sewa rumah senilai Rp 96 juta per tahun dan terdakwa tidak dapat membuktikan penghasilan lainnya, maka dapat kami simpulkan bahwa penerimaan terdakwa yaitu uang dengan jumlah seluruhnya berjumlah seluruhnya Rp 9.896.180.000," jelas jaksa.
Jaksa juga meyakini Ali menerima suap berupa mobil Mini Cooper berkaitan dengan jabatannya. "Satu unit mobil merek Mini Cooper Tipe S F57 Cabrio merah pembuatan tahun 2016 haruslah dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas terdakwa sebagai Kepala Subauditorat III B Keuangan Negara merangkap Plt Kepala Auditorat III B pada Auditorat Utama Keuangan Negara III BPK," urai jaksa.
Menurut jaksa, hal-hal yang memberatkan terdakwa ialah tidak mendukung program pemberantasan korupsi dan terbukti memperkaya diri sendiri.
Sedangkan hal yang meringankan adalah ada unsur penyertaan, terdakwa berlaku sopan di persidangan, belum pernah dihukum, dan membantu mengungkap peran orang lain.
Atas perbuatannya, Ali disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kemudian Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (ams/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini