"Ya semua hasil pembahasan UU, semua UU yang telah disahkan oleh DPR kan memang terbuka untuk di-judicial review (JR). Jadi hak masyarakat untuk melakukan JR," ujar Waketum PPP Arwani Thomafi saat dihubungi, Senin (12/2/2018).
Menurut Arwani, DPR dalam membuat undang-undang seharusnya melihat juga keputusan lain, apalagi Mahkamah Konstitusi. Ini terkait dengan putusan MK yang membatalkan izin presiden bagi anggota DPR yang dipanggil terkait kasus hukum.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, revisi UU MD3 yang baru mengembalikan izin presiden tersebut. Aturan itu tercantum di Pasal 245 draf revisi UU MD3 yang berbunyi, "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan".
"Ya, mestinya memang di dalam membuat undang-undang itu harus melihat ya keputusan-keputusan MK. Apakah ada hal-hal yang sudah diputuskan sebelumnya, jadi memang ndak boleh ada hal yang saling bertentangan," ucapnya.
Arwani juga keberatan atas Pasal 247A tentang penambahan pimpinan MPR. Menurut dia, pasal itu menunjukkan kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia.
"PPP melihat pasal 247A itu sebagai kemunduran kualitas demokrasi. Kemunduran kualitas kerja legislasi," ucap anggota Komisi I DPR itu. (gbr/imk)











































