Jika dilaksanakan, usul bahwa perwira tinggi Polri akan menduduki jabatan sipil sebagai penjabat gubernur disebut bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah, yang mengharuskan pejabat setingkat madya diisi oleh aparatur sipil negara (ASN).
"Menurut saya bertentangan dengan undang-undang yang di atasnya itu UU Pemda, UU Pemda itu kan untuk penjabat gubernur itu diisi oleh ASN yang pejabat madya atau pratama. Kalau gubernur kan madya," kata Lili Romli kepada wartawan di sela-sela Seminar Radikalisme Tahun Politik di Pondok Pesantren Al Furqon, Kota Cilegon, Selasa (30/1/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi kemudian Permendagri itu merubahnya setingkat. Jadi nggak ada sebenarnya bahasa di UU Pemda dan UU ASN tentang setingkat itu. Jadi sebetulnya Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 itu menyimpang dari UU yang ada," jelas Lili.
Dia menyebutkan, selama ini Pj gubernur lazimnya diisi oleh pejabat ASN eselon I untuk tingkat provinsi dan eselon II tingkat kabupaten/kota. Jika alasan Kemendagri kehabisan stok eselon I, menurut Lili, bisa disiasati dengan mengambil SDM (sumber daya manusia) dari kementerian lain yang pejabatnya memang sudah setingkat eselon I.
"Karena menurut saya masih banyak pejabat sipil eselon I di luar Kemendagri. Kalau alasan Kemendagri stok sudah habis bisa juga dari pejabat madya kementerian lain, apakah dari kementerian desa, kan ada urusannya atau dari kementerian lain, kementerian birokrasi, atau yang lainnya yang penting jangan dari Polri," tuturnya.
Jika hal itu dipaksakan, kata Lili, bakal ada kecemburuan di angkatan bersenjata lainnya.
"Karena itu juga akan bisa menimbulkan kecemburuan juga dari angkatan yang lain, terutama selain Polri. Meskipun debatable bahwa Polri itu sebagai tidak tetap, tapi lagi-lagi payung hukumnya di UU Pemerintahan Daerah itu melanggar," tutup Lili. (elz/elz)











































