"Hasil rapat makin jelas bahwa ada penyimpangan soal pemanfaatan aset, kan ada perda soal pemanfaatan aset. Itu harus dikenakan biaya karenanya untuk mendalami itu Komisi A merekomendasikan untuk dibuat segera pansus pemetaan aset, pansus pengelolaan aset tiang-tiang," kata Taufik di gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (3/1/2018).
Menurut Taufik, setelah mendirikan tower mikrosel, selama ini pemilik hanya membayar biaya retribusi yang besarnya tidak signifikan bagi Pemprov DKI. Taufik meminta pendirian tower mikrosel menggunakan sistem sewa yang lebih sesuai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika tower tersebut ditertibkan, Taufik menyebut Pemprov DKI akan menerima pendapatan sebesar Rp 2 triliun per tahun.
"Enam puluh persen kan ini di lahan pemda. Itu harusnya bayar lahan itu . Itu Perda dan Permendagri-nya ada, pemanfaatan aset pemerintahan daerah. Kalau dimaksimalkan hitung-hitungannya saya bisa Rp 1-2 triliunlah," ungkapnya.
Sebelumnya, Pemprov DKI telah memoratorium pemberian izin untuk tower mikroseluler. Bersamaan dengan itu, Pemprov DKI akan mengaudit pemberian izin pemberian izin tower mikroseluler.
Langkah moratorium itu tertuang dalam surat Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) melalui surat bertanggal 20 Desember 2017. Surat itu diteken langsung oleh Kepala PMPTSP Edy Junaedi.
"Menindaklanjuti rapim gubernur pada 19 Desember 2017 perihal evaluasi perizinan tiang mikroseluler, bersama ini disampaikan pemberitahuan bahwa untuk sementara tidak menerima dan memproses izin bangunan pelengkap tiang mikroseluler (moratarium) sampai tanggal 31 Maret 2018," demikian petikan inti dari surat tersebut.
Edy mengatakan langkah selanjutnya yang dilakukan adalah mengaudit pemberian izin itu. Audit dilakukan bersama Dinas Badan Pengelola Aset Daerah DKI.
"Kita akan audit bersama dengan BPAD," kata Edy. (fdu/nvl)











































