Menurutnya, pada Sabtu (9/12), pasien atas nama Aufatul Khuzzah (19) asal Tanara, Kabupaten Serang, dirujuk ke RSDP karena suspect difteri. Pasien kemudian masuk ke ruang isolasi pada pukul 12.35 WIB.
Di ruang isolasi, pasien kemudian diberi anti-difteri serum (ADS) karena, secara klinis, terdapat membran persis difteri di tenggorokan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada hari itu, kondisi pasien, menurutnya, naik-turun. Hemoglobin (Hb) di hari saat pasien datang kira-kira 9,8.
Lalu, pada Kamis (14/12), Hb pasien kemudian turun menjadi 6. Dokter RSDP kemudian memberikan transfusi darah sebanyak 2 labu (kantong). Pada Sabtu (16/12), pasien mengalami perbaikan Hb di angka 7,8, tapi belum aman. Dua hari berikutnya, Hb pasien kemudian menjadi 11,3.
Kondisi Hb pasien kemudian drop pada Kamis (21/12) menjadi 7,5. Esoknya, kondisi Hb pasien terus turun menjadi 6.
"Ini rencana mau ditransfusi (darah) 2 labu dan tanggal 22 (Desember) ada informasi dari Kemenkes dari litbangkesnya. Hasilnya negatif difteri," katanya.
Karena ada laporan laboratorium Kemenkes bahwa pasien negatif difteri, pihak rumah sakit memindahkan pasien ke ruangan biasa di Dahlia pada Sabtu (23/12). Pemindahan dilakukan karena di ruang isolasi terdapat pasien suspect difteri. Sehari setelahnya, pasien meninggal pada Minggu (24/12).
Menurut Agus, pihak rumah sakit menemukan diagnosis selain difteri. Tubuh pasien didiagnosis hypovolemic ec melena ec myocarditis ec acidosis. Atau kekurangan jumlah cairan tubuh, termasuk darah, yang disebabkan keluar darah dari saluran cerna/berak darah akibat infeksi otot jantung yang disebabkan keracunan dan keasaman cairan tubuh.
"Sementara diduganya difteri ternyata mungkin penyakit lain. Jadi di ruang isolasi memang dikhususkan difterinya," katanya.
"Tapi kan namanya suspect diduga, jadi RS jaga-jaga dikasih serum ADS karena secara klinisnya begitu," Agus menambahkan. (bri/tor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini