"Undang-Undang Korupsi kita dalam tanda kutip masih tergolong kuno. Karena kita hanya menyentuh keuangan negara. Ini yang kita harus menguatkan bahwa yang namanya suap-menyuap di sektor swasta mestinya tidak diperkenankan," kata Agus di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin (11/12/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalkan ada seorang pengusaha dalam mendapatkan kreditnya dari bank swasta dia memberikan suap. Ini masih terjadi. Tadi saya juga cerita ke Bapak Presiden, ada yang beli mobil hari ini dealer-nya kalau bisa anda beli dengan kredit. Kalau cash pelayanannya kurang, karena dengan cara kredit, dealer-nya dapat dari tiga sumber. Ini bukan bentuk suap, tapi ke depannya tidak boleh terjadi," ujarnya.
Selain contoh tersebut, Agus mengingatkan potensi korupsi bisa muncul dari perilaku sehari-hari.
"Di Singapura, seorang guru menerima sesuatu dari muridnya sama sekali tidak boleh. Kita hari ini ada yang membuat bimbingan belajar, misalnya matematika, di rumahnya padahal di sekolah juga gurunya beliau. Kalau betul-betul mau dapat tambahan dengan bimbel di ruko, yang belajar jangan muridnya supaya tidak ada konflik kepentingan," jelas Agus.
Agus juga menceritakan tentang keberhasilan Indonesia menempati posisi ketiga dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) se-ASEAN. Ia pun menyebut saat ini terus bersinergi dengan seluruh pihak agar peringkat IPK Indonesia bisa lebih baik.
"Hari ini, IPK kita di ASEAN sudah peringkat tiga. Jadi, Singapura yang paling baik mungkin kita menyalipnya butuh waktu yang lama, karena KPK-nya Singapura dibentuk jauh dari kita, mereka bentuknya tahun 1952, saya belum lahir, Pak Presiden juga belum lahir," ucap Agus.
Ia berharap Indonesia menerapkan aturan soal asset recovery, korupsi di sektor swasta, serta dagang pengaruh. Menurutnya, aturan-aturan tersebut makin mengurangi potensi korupsi di Indonesia. (HSF/idh)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini