Awalnya, Sultan menyatakan urusan proyek bandara itu adalah urusan PT Angkasa Pura I, yakni perusahaan pelat merah selaku empunya proyek. Namun soal nasib warga yang digusur, Sultan menyatakan rumah-rumah mereka sudah kosong tak berpenghuni.
"Tiga puluh delapan rumah yang sudah kosong itu yang dihancurin. (Kalau) yang masih ada penghuninya ya tidak dihancurin," kata Sultan di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (6/12).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Urusannya opo mahasiswa? Wong itu (rumah yang digusur) sudah dibayar (ganti rugi), sudah kosong. Dihancurin kan boleh," kata Sultan.
Sultan menyatakan sebagian besar rumah sudah kosong sehingga bisa dibongkar. Bagi warga yang masih menunggu di rumah lama sampai rumah baru siap dihuni, Sultan menyatakan warga yang demikian tak akan kena gusur dulu.
Lalu bagaimana dengan nasib mereka yang tidak setuju dan tidak menerima ganti rugi? Apakah akan digusur juga?
"Lah wong di pengadilan kok. Di pengadilan kan. Mereka harus berurusan dengan pengadilan," jawab Sultan.
Land clearing adalah istilah yang merujuk pada proses pengosongan lahan ini. Mahasiswa yang bentrok dengan aparat di Temon itu menolak land clearing. Menurut Sultan, isu land clearing ini sengaja dimainkan.
"Kan dibolak-balik jadi isu saja," kata Sultan.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga telah menyoroti perkara ini. Menurut mereka, penggusuran paksa di Temon itu melanggar hak asasi manusia (HAM) sekaligus melanggar hukum. Salah satu aturan yang dilanggar, menurut YLBHI, adalah Perpres 28/2012, di mana Kabupaten Kulon Progo jadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi (Pasal 46 ayat 9 huruf d).
Baca juga: YLBHI: Penggusuran Paksa Warga Kulon Progo Langgar Hukum dan HAM
Perda DIY 2/2010 menyebutkan sepanjang pantai di Kabupaten Kulon Pogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (Pasal 51 huruf g). Bahkan Perda Kulon Progo 1/2012 tentang RTRW lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah satunya meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a).
"Kan itu (potensi rawan tsunami) sudah diantisipasi dari awal. Kalau survei itu nggak memenuhi syarat, maka nggak akan ada airport," tanggap Sultan.
"Itu kan hanya diputar balik, diputar balik membodohi orang yang nggak paham saja," imbuhnya.
Baca juga: 15 Aktivis Yang Diciduk Polisi Kulon Progo Sudah Dilepas
Ada 15 aktivis yang telah diciduk dan dilepas aparat Polres Kulon Progo. Sebelumnya, 15 aktivis ditangkap pada dua waktu yang berbeda.
Sebanyak 12 aktivis yang mayoritas berstatus mahasiswa digelandang ke Mapolres Kulon Progo dari lokasi land clearing di Desa Palihan, Temon, pada Selasa (5/12) siang.
Mereka adalah Andre; Imam dan Rimba (UNY); Muslih (FKNSDA), Rifai (Univ. Mercubuana); Mamat, Kafabi, Wahyu, dan Fahri (UIN); Samsul dan Chandra (LFSY); serta Yogi (UNS).
Lalu sore harinya, tiga aktivis kembali ditangkap, yakni Khoirul Muttakim, Abdul Majid Zaelani, dan Syarif Hidayat (ketiganya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga).
Ketika dimintai konfirmasi seusai penangkapan aktivis kemarin, polisi menyebut alasannya adalah para aktivis tersebut dianggap menghalangi proses land clearing yang dilakukan PT Angkasa Pura I.
Selain itu, para aktivis tidak memiliki izin melakukan aktivitas solidaritas di lokasi land clearing. (dnu/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini