Kaukus Pancasila sendiri merupakan sebuah wadah anggota DPR RI lintas Fraksi yang memiliki perhatian bersama untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik di kalangan anggota DPR RI dalam merumuskan legislasi nasional, pemerintahan, maupun publik secara luas.
"Putusan MK ini merupakan tonggak sejarah pengakuan Negara terhadap keberadaan penganut Kepercayaan di Indonesia," ujar koordinator Kaukus Pancasila DPR RI dari Fraksi PKB, Maman Imanulhaq dalam keterangan tertulis Kaukus Pancasila DPR, Selasa (7/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semoga Putusan MK ini dapat menjadi pedoman untuk upaya menghapuskan diskriminasi terhadap para penganut Kepercayaan," imbuhnya.
Melalui keputusannya, MK memberikan angin segar kepada warga Penghayat Kepercayaan. Mulai saat ini, para Penghayat Kepercayaan diakui dan bisa ditulis di kolom agama yang terdapat di KTP setelah MK mengabulkan judical review terkait pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 dalam UU Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal yang digugat itu hanya menyebutkan kata agama sebagai elemen data kependudukan yang harus dimuat di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Lebih lanjut dalam Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 5, disebutkan bahwa bagi penduduk yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan, maka elemen data kependudukan terkait agama, tidak perlu diisi.
Ketentuan tersebut dalam praktiknya dinilai berimplikasi pada stigma negatif dan diskriminasi terus menerus bagi kelompok penganut kepercayaan. Menurut Koordinator Kaukus Pancasila dari Fraksi PDIP, Eva Kusuma Sundari, negara selama ini telah abai.
"Negara selama ini telah abai terhadap penderitaan para penganut kepercayaan. Mereka distigma tidak beragama, dan akibatnya mengalami pelecehan dan diskriminasi dalam bidang pelayanan umum. Sudah saatnya negara memperbaiki situasi ini," tutur Eva dalam keterangan yang sama.
Baca juga: Jubir MK: Kepercayaan Setara dengan Agama |
Kaukus Pancasila menilai Putusan MK tersebut mencerminkan nilai-nilai Pancasila, khususnya yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menegaskan bahwa hendaknya tiap-tiap orang Indonesia dapat menyembah Tuhannya masing-masing dengan cara yang leluasa. Dalam hal ini, Kaukus Pancasila menyatakan Pancasila tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama saja, akan tetapi berlaku pula bagi orang-orang yang berkepercayaan.
Menurut Kaukus Pancasila, pekerjaan rumah pemerintah setelah putusan MK ini adalah memperbaiki sistem administrasi kependudukan serta pelayanan yang setara untuk mengakomodasi pengakuan terhadap para penghayat kepercayaan dan para penganut agama di luar enam agama yang selama ini diutamakan, yaitu Kristen, Katolik, Islam, Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Tak hanya itu, pemerintah juga diminta untuk melakukan langkah-langkah yang terencana untuk menghapuskan diskriminasi terhadap kelompok agama atau kepercayaan yang selama ini tidak diakui, termasuk agar tidak terbatas pada kebijakan dalam bidang pendidikan.
Gugatan ini diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dkk. Gugatan ini dilakukan agar para penghayat kepercayaan bisa menulis kepercayaannya di kolom KTP.
Pemohon menyampaikan rasa senang dengan keputusan MK tersebut. Mereka berharap pemerintah dapat memperhatikan keputusan MK tersebut sehingga terbukanya kesempatan dan kesetaraan untuk anak mereka.
"Harapan kita untuk pemerintah mahkamah semakin terbukanya kesempatan anak-anak itu sama. Itu permohonan kami," kata salah satu penggugat Arnold Purba,di gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (7/11).
Selain Arnold, Belawan juga menyatakan rasa senangnya. Ia meminta agar situs pendaftaran pekerjaan atau lainnya yang ada kolom agama bisa terdapat pilihan kepercayaan. Agar tidak terjadi lagi diskriminasi.
"Diskriminasi ya itu banyak dalam pelayanan itu. Di situs online itu tidak pernah dihadirkan kepercayaan, menandakan bahwa kepercayaan tidak disetarakan dengan anak bangsa," jelas Belawan.
"Jadi setelah keputusan ini, kalau di situs online kementerian itu dicantumkan, juga kementerian pendidikan dibuka secara umum dan kami anak-anak tidak terintimidasi," lanjutnya. (elz/jbr)











































