"Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp 4,8 triliun," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Senin (9/10/2017).
Febri menyebut, menurut hasil audit BPK itu, disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI. "Yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan," sambung Febri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
- Rp 1,1 triliun yang dinilai sustainable dan ditagihkan kepada petani tambak
- Sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan
- Dari nilai Rp 1,1 triliun itu kemudian dilelang oleh PPA dan didapatkan Rp 220 miliar. Sisanya Rp 4,58 triliun menjadi kerugian negara
Dalam kasus tersebut, KPK baru menetapkan seorang tersangka yaitu mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Kasus SKL BLBI ini terjadi pada April 2004 saat Syafruddin mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau yang disebut SKL terhadap Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI, yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri, yang saat itu menjabat Presiden RI. (fai/dhn)











































