PVBMG: Karakter Gunung Agung Beda dengan Merapi dan Kelud

PVBMG: Karakter Gunung Agung Beda dengan Merapi dan Kelud

Prins David Saut - detikNews
Selasa, 03 Okt 2017 13:26 WIB
Gunung Agung (David Saut/detikcom)
Jakarta - Sebelas hari sudah Gunung Agung berstatus awas tanpa terjadi letusan. Anomali ini menjadi ciri khas gunung yang misterius itu. Aktivitas yang diperlihatkan Gunung Agung tergolong unik dan berbeda dengan 2 gunung api di Jawa.

Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Devy Kamil menjelaskan perilaku Gunung Agung berbeda dengan Gunung Merapi ataupun Gunung Kelud. Kegempaan yang telah terjadi ribuan kali sejak Gunung Agung berstatus awas tidak ditunjukkan dua gunung berapi di Yogyakarta dan Jawa Timur itu.

"Kalau di Gunung Kelud dan Gunung Merapi, jumlah (kegempaan) segini sudah terjadi letusan. Tapi ini (Gunung Agung) belum. Padahal dia sudah lama sekali tidak meletus," kata Devy di Pos Pengamatan Gunung Agung, Rendang, Karangasem, Bali, Selasa (3/10/2017).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Devy menduga sedimen atau lapisan batuan di leher Gunung Agung sangat tebal dan kuat, sehingga tekanan magma belum mampu menghancurkan lapisan tersebut, sedangkan tekanan magma yang berupa gas terus mencari jalan ke permukaan melalui celah-celah bebatuan.

"Bebatuan di leher Gunung Agung ini sangat kuat dan masih cukup menahan tekanan sampai sekarang. Tapi kita tidak tahu apakah masih bisa menahan atau bagaimana," ujar Devy.

Lalu, apakah tekanan magma itu akan mencari gunung terdekat yang lebih lemah untuk mencapai permukaan? "Kalau tekanan dan magma ke tempat lain, kita belum tahu. Tapi di kawah Gunung Batur (gunung terdekat dari Gunung Agung) belum ada anomali seperti itu. Jadi masih kita lihat pergerakan magma ini tetap di Gunung Agung," jawab Devy.



Devy menyatakan mengukur tekanan magma di dalam perut gunung berapi tidak bisa dilakukan karena belum ada teknologinya. Namun tiltmeter dan seismograf sudah mampu menunjukkan indikasi tekanan gas yang teramati.

"Besaran (tekanan) gasnya belum ada yang bisa estimasi berapa karena belum ada teknologi ke sana. Gas ini kan bukan hanya dari tiltmeter, tapi juga dilakukan metode lain, seperti alat seismik di tubuh Gunung Agung. Sayangnya, kita belum bisa memastikan mitigasi ini cukup atau tidak untuk terjadi letusan," ucap Devy.

Aktivitas vulkanik itu lalu dianalogikan Devy seperti botol soda. Gempa-gempa yang terjadi menggambarkan botol soda yang dikocok sehingga menghasilkan tekanan gas.

"Kalau tutupnya dibuka pelan-pelan, maka gasnya keluar perlahan. Tapi kalau tutupnya dibuka cepat, maka terjadi (erupsi). Jadi harus tetap siaga karena siapa yang menginginkan kondisi seperti ini," ungkap Devy. (vid/rvk)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads