Abdul mengatakan dasar kerja sama LPSK-KPK dalam penanganan perlindungan saksi kasus tindak pidana korupsi mengacu pada pasal 36 UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kini menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014.
Dalam aturan itu disebutkan, LPSK dalam melindungi saksi dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang menangani perkara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan hal itu, Abdul mengatakan LPSK dan KPK membuat nota kesepahaman bernomor SPG 12/8/2010 dan Kep 066/16/LPSK/08 2010 tentang kerjasama pelaksanaan perlindungan saksi dan pelapor. Namun, kerja sama itu telah berakhir.
"Masa berlaku 5 tahun dan saat ini sudah, sebenarnya masa perjanjian sudah habis di 2015 kemarin," ujar Abdul dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/8/2017).
Menurut Abdul, LPSK dan KPK sampai saat ini belum punya aturan bersama soal perlindungan saksi dan korban karena nota kesepahaman yang habis masa berlakunya tersebut. Saat ini, nota kesepahaman itu sedang dibahas.
"Sampai sekarang belum selesai dibahas untuk perpanjangan MoU ini," jelasnya.
Pansus angket KPK mempermasalahkan safe house atau rumah aman bagi saksi kasus korupsi yang dimiliki KPK. Mereka pun kemudian mengundang LPSK untuk menggali soal fungsi rumah aman.
Pansus Angket KPK juga pernah mendatangi dua rumah aman KPK di kawasan Depok dan Kelapa Gading. Dua rumah aman itu disebut rumah sekap oleh saksi yang pernah diperiksa KPK dalam kasus suap mantan Ketua MK Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa. (gbr/elz)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini