Jaksa Agung Siapkan 12 Orang untuk Dieksekusi Mati

Jaksa Agung Siapkan 12 Orang untuk Dieksekusi Mati

Yulida Medistiara - detikNews
Jumat, 25 Agu 2017 16:54 WIB
Jaksa Agung HM Prasetyo (grandy/detikcom)
Jakarta - Jaksa Agung HM Prasetyo menyiapkan 12 terpidana mati untuk segera dilakukan eksekusi mati dalam waktu dekat. Saat ini Kejagung sedang meminta fatwa kepada Mahkamah Agung (MA) terkait putusan MK tentang pembatasan permohonan grasi.

"Kita setiap tahun ada jatah untuk eksekusi itu 12 orang," kata Prasetyo, di Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (25/8/2017).

Hingga semester pertama 2017, Prasetyo menyatakan sudah memiliki 153 nama terpidana mati yang belum dieksekusi. Untuk mempercepat eksekusi mati, Kejagung meminta kepastian hukum ke MA dengan mengirimkan surat permintaan fatwa terkait putusan MK soal pembatasan permohonan grasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya sudah buat surat ke MA minta fatwa mereka tentang pelaksanaan pengajuan grasi yang tidak ada pembatasan waktunya ini seperti apa," ujarnya.

Ia menyebut Kejagung memiliki pemahaman terkait putusan itu bahwa putusan itu tidak berlaku surut. Sebab menurut Prasetyo bagi terpidana yang sudah inkrah putusannya bisa dieksekusi.

"Kami mempunyai pemahaman memang, putusan maka tentang penghapusan masa pengajuan grasi yang enggak ada batas ini tentunya tidak berlaku surut. Bagi terpidana mati yang sudah inkrah putusannya tentunya bisa dilaksanakan," ujarnya.

Prasetyo mengatakan dia ingin segera melakukan eksekusi mati. Namun terhambat putusan MK yang baru.

"Terus terang saya sudah gregetan, Bagaimana pun mereka sudah begitu memberikan akibat yang luar biasa untuk bisnis yang mereka lakukan, kita sedang menunggu fatwa MA, biar nanti jalankan. Karena kalian tahu setiap kali kita lakukan eksekui kan ada timbul pro dan kontra, itu yang kita jaga, pemerintah juga lakukan hal lain yang enggak kalah penting," imbuhnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan grasi tidak dibatasi oleh waktu. Namun demikian, grasi tidak bisa menunda pelaksanaan eksekusi mati.

Putusan itu diketok atas permohonan pembunuh bos Asaba, Suud Rusli, yang menggugat UU Grasi. Sebelum putusan MK diketok, grasi maksimal diajukan 1 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya atas Pasal 7 Ayat (2) UU tentang Grasi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap ketua majelis hakim Arif Hidayat dalam sidang di gedung MK, Rabu (15/6/2016).

Pasal 7 Ayat 2 berbunyi:

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

"Namun demikian, untuk mencegah digunakannya hak mengajukan grasi oleh terpidana atau keluarganya, khususnya terpidana mati, untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan, seharusnya jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi, atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana apakah terpidana atau keluarganya akan menggunakan haknya mengajukan permohonan grasi," ucap majelis hakim.

Menurut MK, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun ketentuan demikian tidak diatur secara eksplisit dalam UU Grasi.

"Sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut," putus majelis dengan suara bulat. (yld/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads