"Saya kira itu (penolakan) karena salah paham saja, perlu lah dipahami bahwa dengan niat baik, saya sudah membaca, apa lagi nanti kita tunggu perpresnya. Dari pemerintah itu tidak ada niat sama sekali untuk mematikan madrasah diniyah, karena itu juga aset umat, aset bangsa," ujar Din Syamsuddin di Masjid Agung Al Azhar, Jl Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (14/8/2017).
Din menilai kebijakan sekolah 8 jam dalam 5 hari disalahpahami dengan istilah full day school. Istilah tersebut menjadikan pemahaman publik akan kebijakan tersebut menjadi rancu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Din mengatakan sistem pendidikan pesantren lebih dari istilah yang dipahami full day school. Sistem pendidikan pesantren bahkan 24 jam.
"Sementara sebenarnya lembar pendidikan Islam seperti pesantren itu lebih maju dari full day school. Karena pesantren-pesantren itu sudah full day and night school, siang dan malam. Jadi kembali mari kita pahami secara jernih keinginan pemerintah agar lebih ada waktu bagi siswa-siswa untuk bisa menanamkan nilai-nilai akhlak karakter bangsa ini," jelasnya.
Din juga mengatakan sekolah 5 hari membuat anak-anak memiliki banyak waktu bersama orang tua saat akhir pekan. Din memandang runtuhnya akhlak diakibatkan minimnya waktu anak-anak bersama keluarga.
"Sisi lain, agar punya waktu bagi keluarga akhir pekan. Karena runtuhnya akhlak kita ini keluarga-keluarga tidak punya waktu banyak, maka kalau bisa diberi waktu yang banyak Sabtu dan Ahad kan lebih bagus. Yang ketiga jangan matikan madrasah diniyah, nanti diatur saja waktunya. Dan madrasah diniyah itu bukan hanya milik satu organisasi, itu milik semua organisasi Islam. Nggak ada satu organisasi Islam yang mengklaim hanya dia yang memiliki madrasah diniyah," ulas mantan Ketum PP Muhammadiyah ini. (nvl/tor)











































