Begitu pun dengan para pengurus PDI di sejumlah daerah seperti B.X. Soeherman (Ketua DPC PDI Malang) dan Djadjang Kurniadi (Ketua DPD PDI Jawa Barat), dan tokoh lainnya harus bolak-balik menjalani pemeriksaan aparat karena dianggap tak bersih lingkungan alias dekat dengan PKI.
"Badan Intelijen Strategis bahkan sempat mengusut keterlibatan Taufiq dalam aktivitas PKI. Pengusutan itu jelas tidak menemukan indikasi itu sama sekali. Taufiq dinyatakan "bersih diri" dan "bersih lingkungan"," tulis wartawan senior Derek Manangka dalam buku "Jurus dan Manuver Politik Taufiq Kiemas: Memang Lidah Tak Bertulang".
Di era reformasi, nyatanya pelabelan PKI terhadap PDI yang kemudian berganti nama menjadi PDI Perjuangan, tak berhenti. Pengamat politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit menyebut salah satu pangkalnya adalah keterlibatan Ribka Tjiptaning dan Budiman Sudjatmiko.
Ribka yang terpilih menjadi anggota DPR sejak Pemilu 2004, pernah secara terbuka menjelaskan asal usulnya lewat buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI". Dokter yang membuka klinik di daerah Ciledug sejak 1992 itu diketahui aktif di PDI sejak 1983.
Kedua orang tuanya, Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro dan BRA Lastri Suyati memang pernah berurusan dengan aparat karena tuduhan sebagai kader PKI. Toh, Ribka sendiri bisa kuliah di Universitas Kristen Indonesia sejak 1978, dan meraih titel dokter pada 1990. Padahal sejak PKI dinyatakan sebagai organisai terlarang, 1966, setiap pelajar, mahasiswa, atau calon pegawai harus mendapat surat keterangan bebas dari organisasi terlarang.
Sementara Budiman dicap PKI karena pernah memimpin Partai Rakyat Demokratik (PRD) di pengujung Orde Baru. Anehnya, stigma serupa sepertinya tak pernah singgah ke alamat politisi Partai Demokrat Andi Arif, yang sama-sama pernah menjadi pentolan PRD.
Penguasa militer kala itu mengidentikan PRD sebagai PKI gaya baru. Di persidangan kala itu pun, Budiman tegas menepis tuduhan jaksa. "PRD bukan komunis, tapi lebih mirip dengan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sutan Sjahrir.
Arbi pun menilai, Ribka maupun Budiman bukan penganut komunisme itu sendiri.
Memasuki masa kampanye pemilihan Presiden 2014, giliran Joko Widodo yang dikenai pelabelan PKI. Hal itu terkait dengan jargon perubahan Revolusi Mental yang didengungkannya. Politisi Gerindra Fadli Zon lewat twitternya pernah mencoba mengasosiasikan istilah Revolusi Mental dengan komunis.
"Indonesia tak ada hubungan dengan NAZI, yang ada dengan komunis. Nah 'Revolusi Mental' punya akar kuat tradisi paham komunis," cuitnya melalui twitter pada 26 Juni 2014.
Menurut Fadli, bapak komunis Karl Marx menggunakan istilah Revolusi Mental pada tahun 1869 dalam karyanya 'Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte'. Selain itu, lanjutnya, Revolusi Mental juga jadi tujuan 'May Four Enlightenment Movement' di China 1919 diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis China.
Cuitan itu segera mendapat sanggahan dari akademisi Airlangga Pribadi yang tengah menempuh pendidikan doktor ekonomi-politik di Universitas Murdoch, Australia. Secara panjang lebar Airlangga di laman facebooknya tertanggal 26 Juni 2014, menguraikan kesalahan logika Fadli Zon.
Revolusi Mental, tulis dia, berbicara soal konsep kepemimpinan untuk mengubah mental rakyat Indonesia. "Bahwa seberat-beratnya masalah dan hambatan kita harus optimistis dan menaruh harapan. Karakter yang baik, produktif, jujur dan optimis dibentuk melalui pendidikan."
Dia juga membantah bahwa Revolusi Mental menjadi tujuan 'May Four Enlightenment Movement' di China 1919 yang diprakarsai Chen Duxui, pendiri Partai Komunis China. Chen sejatinya berbicara bahwa transformasi masyarakat China dari era feodal menuju sosialisme dapat mengubah tatanan budaya masyarakat Tionghoa dari hierarkis menuju egaliter. Namun itu harus dimulai dari pertarungan dan pembelahan antar kelas sosial terlebih dahulu.
"Revolusi mental berangkat dari pemahaman bahwa jalan untuk membangun mentalitas rakyat dibangun melalui persatuan Indonesia kolaborasi antar elemen bangsa. Terus samanya dimana? Lucu ya Zon," tulis Airlangga. (jat/erd)