Eros Djarot: Tukang Tuding PKI Itu Nggak Sekolah Atau Intel

ADVERTISEMENT

Eros Djarot: Tukang Tuding PKI Itu Nggak Sekolah Atau Intel

Aryo Bhawono - detikNews
Jumat, 04 Agu 2017 10:54 WIB
Eros Djarot. Foto: Rengga Sancaya
Jakarta - Tudingan PKI selalu mendarat di tubuh PDIP. Orde Baru sengaja memberi label ini untuk menggembosi pendukung Sukarno, kini label ini dipakai untuk menggembosi partai pendukung pemerintah.

Sineas yang juga pernah menjadi politisi, Eros Djarot mengaku tak habis pikir dengan stigma PKI yang dengan mudah diidentikan kepada PDI Perjuangan. Stigma semacam itu dulu biasa dituduhkan oleh rezim Orde Baru, dan semestinya berhenti begitu memasuki era Reformasi. Tapi rupanya pelabelan itu abadi.

Lelaki kelahiran Rangkasbitung, Banten, 22 Juli 1950 itu termasuk yang membidani lahirnya PDI Perjuangan. Nama itu merupakan 'sempalan' dari PDI tempat Eros pernah berkiprah sejak 1983, sebagai staf litbang. Saat kisruh perebutan kursi ketua umum PDI antara Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi pada 1996, lantas bersama kubu Megawati mengibarkan bendera PDI Perjuangan.

"Sebagai pribadi yang ikut membidani pembentukan PDIP, saya tahu persis tak ada kaitannya dengan PKI. Jadi kalau ada yang mengatakan PDIP itu PKI, pasti itu antek orde baru," jawab Eros ketika berbincang dengan detik.com, Kamis (3/8/2017).

Ia menanggapi pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arif Poyuono yang mengidentikan PDIP dengan PKI. Meski telah meminta maaf, sejumlah pihak tetap melaporkan Arif ke polisi.

PDI merupakan penggabungan beberapa parpol pada 1973, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai IPKI (ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia). Basis masa pendukung partai ini berasal dari simpatisan Sukarno. Kelima parpol itu menjadi satu sesuai kebijakan penguasa Orde Baru, Soeharto.

Begitu juga dengan PPP, yang merupakan gabungan dari Partai Nadlatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Parmusi.

PDI dulu dibenci Orde Baru karena bisa meraih suara Sukarnois dalam setiap Pemilu. Salah satu cara untuk menggembosi pendukungnya adalah meniupkan isu PKI di tubuh partai berlambang banteng itu. Hampir semua pegiat partai disebut tidak bersih diri, termasuk almarhum Taufik Kiemas, Suami Megawati.

Ketika Megawati untuk pertama kalinya berhasil memimpin PDI pada 1994, setahun kemudian, merujuk dokumen 20 Tahun Elsam, pelabelan PKI terhadap sekitar 300 kader PDI pun muncul. "Dulu di dekat Sukarno dibilang tidak bersih diri, dibilang punya kaitan dengan PKI," kata Eros.

Bersih diri merupakan imbas dari pelaksanaan Instruksi Mendagri No.32 Tahun 1983 perihal Bimbingan dan Pembinaan Eks Tapol dan Napol G 30 S/ PKI. Pelaksanaan aturan ini sangat diskriminatif karena mantan tahanan PKI dan keluarganya selalu diawasi dan dibatasi kariernya.

"Makanya saya bilang orang yang menuding PKI itu kalau enggak makan bangku sekolah, intel, pasti suruhan politik," ujar Eros.

Pengamat Politik UI, Arbi Sanit juga meyakinkan bahwa PDIP sama sekali tak punya kaitan dengan PKI. Isu kembali mencuat ketika nama Ribka Tijptaning muncul karena meluncurkan biografi bertajuk 'Aku Bangga Menjadi Anak PKI'. Bergabungnya mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko pun lantas dikait-kaitkan dengan isu PKI. "Padahal mereka samasekali bukan penganut komunisme itu sendiri," tandas Arbi.

Ia juga mengaku tak habis pikir dengan pihak-pihak yang dengan gampang bicara soal kebangkitan komunisme di Indonesia, tapi di sisi lain menuding-nuding rezim ini sebagai kapitalis-liberal. Bagaimana mungkin dua ideologi yang saling bertentangan dipersatukan ke dalam satu stigma.

"Toh, orang-orang yang menjadi korban penggusuran oleh Ahok, misalnya, kan menjadi kaum proletar, miskin. Tapi kan tidak lantas menjadi PKI," ujar Arbi.

Ia menegaskan, Komunisme sudah mati di dunia seiring dengan runtuhnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991. Cita-cita tatanan dunia dalam satu pemerintahan gagal setelah negara itu tak mampu melakukan kendali ekonomi. Sebagian lagi bertahan dengan sosialisme, bahkan ada yang berubah menjadi kapitalis seperti Republik Rakyat Cina.

"Kalau saya sebut mereka yang menuding PKI itu adalah penyembah hantu. Hantu itu namanya komunisme," terang Arbi.

Arbi menyesalkan masih maraknya tudingan semacam ini. Perilaku ini menunjukkan sikap politik yang tidak dewasa. Padahal reformasi harusnya membuka pikiran semua orang terhadap demokrasi, bukan menakut-nakuti dengan tuduhan semacam ini.

"Saya khawatir ini dinyatakan oleh kelompok radikal yang tidak setuju demokrasi," ujarnya. (jat/tor)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT