Malas Jalan Kaki, Selamat Menikmati Macet DKI

Malas Jalan Kaki, Selamat Menikmati Macet DKI

Erwin Dariyanto - detikNews
Rabu, 02 Agu 2017 09:55 WIB
Malas Jalan Kaki, Selamat Menikmati Macet DKI
Kemacetan Jakarta (Rachman Haryanto/detikcom)
Jakarta - Selain soal pertambahan jumlah kendaraan yang tak sebanding dengan penambahan ruas jalan, budaya jalan kaki turut andil dalam memicu kemacetan di Jakarta. Selama warga Jakarta dan Indonesia pada umumnya masih malas berjalan kaki, berarti malas naik angkutan umum.

"Jadi mohon maaf, silakan menikmati kemacetan," kata pengamat transportasi Yayat Supriyatna saat berbincang dengan detikcom, Senin (31/7/2017).

Hasil studi sekelompok peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat, beberapa hari lalu mengungkapkan warga Indonesia paling malas berjalan kaki. Dalam satu hari, rata-rata penduduk Indonesia hanya melangkah 3.513 kali. Hong Kong menempati posisi teratas dengan rata-rata langkah mencapai 6.880 kali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Adapun secara global, orang-orang di dunia rata-rata melangkah 4.961 kali setiap hari. Ada banyak hal yang menyebabkan warga Indonesia malas jalan kaki. Misalnya karena faktor keamanan. Contohnya, di kota metropolitan seperti Jakarta ini, tingkat keamanan yang kurang bisa membuat orang malas berjalan kaki.

"Dulu saya juga pakai kendaraan umum, naik bus, Metromini, Kopaja. Tapi beberapa kali juga saya kecopetan. Apakah saya akan nyuruh anak saya naik kendaraan umum? Tentu tidak. Akhirnya beralih ke kendaraan pribadi," kata dokter Michael Triangto, dokter spesialis olahraga.

Alfred Sitorus, pendiri sekaligus Ketua Koalisi Pejalan Kaki, mengatakan kurangnya akses trotoar yang baik membuat orang Indonesia malas jalan kaki. Trotoar, baik di Jakarta maupun kota-kota besar lainnya, saat ini banyak dipakai oleh pedagang kaki lima.

Malas Jalan Kaki, Selamat Menikmati Macet DKIInfografis: Kiagoos Auliansyah/detikcom

"Kita menjawab survei itu, ya. Kenapa orang Indonesia disebut malas jalan kaki? Pertama ya karena trotoar tidak berwujud. Trotoar dipakai parkir, dipakai berdagang, dibikin papan reklame di atasnya, ada galian kabel sampai digunakan berdagang kaki lima, bahkan ada yang legal dan diakomodasi pemerintah provinsi," tutur Alfred.

Padahal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan jelas mengatur peruntukan trotoar hanya buat pejalan kaki apa pun alasannya, termasuk kemacetan. Sayangnya, menurut Nirwono Joga, Koordinator Kemitraan Kota Hijau, Pemerintah Provinsi DKI hingga saat ini belum memiliki rencana induk trotoar.

"Trotoar adalah roh kota. Dengan berjalan kaki, kita dapat merasakan langsung atmosfer kota. Panas terik atau keteduhan pepohonan, udara segar atau polutif, aroma wangi kembang taman atau bau busuk sampah, hingga berinteraksi sesama warga kota," papar Nirwono. (erd/elz)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads