Menurut sejarahwan Betawi, Alwi Sahab dalam bukunya, 'Betawi Queen of the East', disebut Pasar Gambir karena digelar di Koningsplein, atau Lapangan Gambir sejak pagi hingga malam. Pasar malam ini pertama kali digelar pada 1898 dalam rangka memperingati penobatan Ratu Wilhelmina.
"Kebanyakan yang dijual masyarakat pribumi adalah makanan khas Jakarta seperti kerak telor," tulis Alwi.
Keriaan Pasar Gambir juga dirayakan di Belanda. Dengan nama Tong Tong Fair, kegiatan pasar malam ini membawa nostalgia tersendiri bagi mereka yang pernah tinggal di Indonesia atau memiliki hubungan erat dengan Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivitas Pasar Gambir terhenti ketika Jepang menggantikan Belanda menguasai Indonesia pada 1942. Keriaan itu kembali dihidupkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1968. "Saya ingat, dulu semasa kecil ada 'Pasar Gambir' di Jakarta (kala itu sebutannya masih Batavia) bahwa 'Pasar Gambir' itu merupakan keramaian yang menyenangkan," kata Ali Sadikin dalam biografi yang ditulis sastrawan Ramadan KH, Bang Ali: Demi Jakarta.
Penyelenggaraannya dibakukan melalui Peraturan Daerah nomor 8 tahun 1968 tentang Djakarta Fair atau PRJ. Bang Ali meresmikan PRJ pada 15 Juni 1968, menjelang HUT Djakarta ke-441. Di arena itu warga Jakarta bisa menikmati aneka suguhan hiburan seperti bioskop, panggung joget untuk tua-muda, dan panggung kesenian daerah.
Bang Ali menetapkan tiket masuk cukup murah, Rp 25 per orang. Ini merupakan koreksi dari tarif yang ditetapkan panitia, Rp 50. Khusus anak sekolah, Bang Ali memberikan diskon Rp 10. Ia sengaja menerapkan tarif semurah mungkin karena tujuan utamanya adalah memberikan fasilitas hiburan bagi masyarakat.
Dari tahun ke tahun keriaan itu kerap disesaki warga. Fasilitas dan jenis hiburan pun bertambah. Sementara luas lahan yang cuma 7 hektare otomatis tak lagi sanggup menampung jumlah pengunjung yang melonjak hingga 1,4 juta orang. Akhirnya pada 1992 pelaksanaan PRJ dipindah ke Kemayoran yang memiliki luas lahan 44 hektare. Di sini jumlah pengunjung hingga lima kali lipat dari pengunjung Monas bisa tertampung.
Ketika Joko Widodo terpilih memimpin Jakarta bersama wakil, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pelaksanaan PRJ sempat dikembalikan ke Kemayoran. Jokowi menilai PRJ sudah jauh melenceng dari misi awalnya: pesta untuk rakyat. Indikasinya harga tiket dan sewa stan kelewat mahal. "Ini harus dikembalikan ke rakyat," kata Jokowi kepada pers di Pelabuhan Tanjung Priok, 7 Juni 2013.
Ambisi Jokowi itu terwujud setahun kemudian. Namun karena perencanaan kurang matang, dan sikap warga yang semaunya gelaran 'PRJ Tandingan' selama sepekan itu membuat kawasan Monas porak-poranda. Taman-taman rusak dan sampah bertebaran di mana-mana.
"Brengseknya luar biasa, semua buang sampah dan PKL (pedagang kaki lima) pada dagang di banyak tempat. PKL ini yang ngelunjak, kita pengin ngebantu Anda tapi jangan ngelunjak gitu lo," kata Ahok murka, saat ditemui para wartawan di kantornya, 16 Juni 2014. (jat/erd)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini